Wednesday, October 05, 2005

Lisensi Software: Model perjanjian “shrink-wrap” dan “click-wrap”
by Ari Juliano Gema


Dalam perjanjian yang berkaitan dengan lisensi software dikenal istilah model perjanjian “shrink-wrap” (shrink-wrap agreement) dan “click-wrap” (click-wrap agreement). Model perjanjian “shrink-wrap” adalah seperangkat ketentuan dan persyaratan (terms & conditions) mengenai penggunaan suatu software, yang berada di dalam bungkus atau kotak pembungkus dari software tersebut, yang dianggap telah mengikat dan disetujui oleh pembeli pada saat pembeli membuka bungkus atau kotak pembungkus dari software tersebut. Biasanya pada bungkus atau kotak pembungkus software tersebut terdapat tulisan yang pada intinya menyebutkan bahwa “dengan membuka kotak/pembungkus software ini, anda akan terikat dengan ketentuan dan persyaratan penggunaan software ini”.


Model perjanjian “click-wrap” merupakan variasi dari model perjanjian “shrink-wrap”. Pada model perjanjian “click-wrap”, software sudah terpasang di komputer dan terms & conditions muncul terlebih dahulu di layar komputer untuk disetujui pengguna sebelum software tersebut dapat digunakan lebih lanjut. Bentuk persetujuan dari pengguna adalah dengan mengarahkan cursor untuk menekan tombol “Saya Setuju” yang biasanya terletak di bagian bawah tampilan seperangkat ketentuan dan persyaratan tersebut.


Keberlakuan Perjanjian di AS


Meskipun masih diperdebatkan mengenai keberlakuan dua model perjanjian tersebut, di Amerika Serikat, keberlakuan model perjanjian tersebut sudah dikuatkan oleh Pengadilan Amerika Serikat sejak tahun 1996. Hal ini berarti bahwa suatu perjanjian untuk mengikat para pihak tidak harus tertera dalam suatu dokumen kertas dan juga tidak harus ditandatangani dengan tinta secara manual, namun dapat dengan hanya menekan tombol “Saya Setuju” pada tampilan di layar komputer atau membuka kotak/bungkus dari suatu produk.


Kasus yang sering menjadi rujukan mengenai model perjanjian tersebut adalah The Gateway Case pada tahun 1997, di mana Gateway sebagai produsen komputer digugat oleh penggunanya ke pengadilan lantaran komputer Gateway yang digunakannya tidak dapat berfungsi dengan baik. Pada terms & conditions komputer Gateway yang terdapat di dalam kotak pembungkus komputer Gateway, disebutkan bahwa apabila ada perselisihan antara pengguna dan Gateway maka harus diselesaikan melalui lembaga arbitrase. Pengadilan kemudian memutuskan untuk menolak gugatan pengguna, dengan pertimbangan bahwa pengguna sudah membuka kotak pembungkus komputer Gateway dan sudah menggunakan komputer tersebut, sehingga pengguna dianggap sudah terikat dengan terms & conditions yang mengatur bahwa segala perselisihan diselesaikan melalui lembaga arbitrase.


Hukum Perjanjian di Indonesia


Pada dasarnya syarat sah suatu perjanjian menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) adalah sebagai berikut:


1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.


Sepanjang keempat syarat tersebut telah terpenuhi maka menurut pasal 1338 ayat (1) KUHPer disebutkan bahwa: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.” Dengan penekanan pada kata ‘semua’, maka pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa apa saja, termasuk model perjanjian “shrink-wrap” dan “click-wrap”, dan berisi apa saja, sepanjang isi perjanjian tidak melanggar kausa halal dan ketentuan undang-undang yang ada.


Selain itu, berdasarkan pasal 1338 ayat (3) KUHPer ditentukan bahwa: “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Ketentuan ini menghendaki bahwa suatu perjanjian dilaksanakan secara jujur, yakni dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.


Kemudian, karena model perjanjian “shrink-wrap” dan “click-wrap” pada terms & conditions-nya dicantumkankan beberapa klausula yang tidak dapat dinegosiasi oleh pengguna, maka perlu diperhatikan pula ketentuan pada UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen), khususnya mengenai ketentuan pencantuman klausula baku. Menurut UU Perlindungan Konsumen, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

1. menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;
2. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
3. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
4. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung, maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
5. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
6. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
7. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
8. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.


Kemudian diatur juga bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. UU Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang mencantumkan ketentuan sebagaimana dimaksud di atas dinyatakan batal demi hukum, dan pelaku usaha dan/atau pengurusnya itu dapat dituntut pidana penjara atau pidana denda.


Apabila ada keluhan maupun gugatan terhadap software yang diimpor dari luar negeri, maka yang bertanggung jawab menggantikan pembuat software tersebut menurut UU Perlindungan Konsumen adalah importir software tersebut, apabila software tidak diimpor oleh agen atau perwakilannya di Indonesia.


Permasalahan


Melihat pada ketentuan-ketentuan di atas, maka ada beberapa permasalahan yang mungkin muncul pada model perjanjian “shrink-wrap” dan “click-wrap” ini, pertama, saat terjadinya kata ‘sepakat’ pada model perjanjian “shrink-wrap” dan “click-wrap”, mengingat sebenarnya terms & conditions baru berlaku pada saat kotak/bungkus software dibuka atau tombol “Saya Setuju” sudah ditekan, dan bukan pada saat jual beli lisensi software tersebut.


Pada model perjanjian “click-wrap” mungkin bisa diketahui kapan kata ‘sepakat’ itu terjadi, yaitu pada saat tombol “Saya Setuju” pada software yang telah terpasang di komputer sudah ditekan, tentu tanggalnya akan tercatat pada sistem operasi di komputer pengguna. Sedangkan pada model perjanjian “shrink-wrap” agak sulit diketahui kapan terjadi kata ‘sepakat’ dari pengguna, mengingat pada saat kotak/bungkus software dibuka belum tentu pengguna langsung memasangnya di komputer.


Kedua, mengenai keabsahan perjanjian dihubungkan dengan ketentuan UU Perlindungan Konsumen. Pada model perjanjian “click-wrap” mungkin terms & conditions dapat dibaca terlebih dahulu pada tampilan di layar komputer sebelum disetujui oleh pengguna, namun untuk model perjanjian “shrink-wrap”, apabila terms & conditions diletakkan didalam kotak/bungkus software sehingga sulit dilihat oleh pengguna sebelum dibuka, maka pada dasarnya terms & conditions tersebut dapat dianggap batal demi hukum karena letaknya sulit terlihat atau tidak dapat dapat dibaca secara jelas. Lain halnya apabila terms & conditions tersebut letaknya dipermukaan kotak atau pada bungkus software yang transparan sehingga meskipun pengguna belum membukanya, tapi dapat melihatnya dengan mudah dan jelas.


Ketiga, masalah pembuktian di pengadilan. Pada pembuktian dalam acara perdata, mungkin bisa saja terms & conditions pada model perjanjian “shrink-wrap” dijadikan sebagai bukti tulisan sebagaimana dimaksud pada pasal 1866 KUHPerd dan pasal 164 HIR, namun mungkin kekuatan pembuktiannya tidak sama dengan akta yang ditandatangani secara manual, baik akta di bawah tangan maupun akta yang dibuat dihadapan notaris. Apalagi pada model perjanjian “click-wrap”, terms & conditions-nya yang hanya ada pada tampilan di komputer atau berbentuk data elektronik, tentu akan mengundang perdebatan lebih lanjut.


Pada pembuktian dalam acara pidana, mungkin bisa saja terms & conditions pada model perjanjian “shrink-wrap” dijadikan sebagai alat bukti petunjuk sebagaimana dimaksud pada pasal 184 jo. pasal 188 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni sebagai surat/dokumen yang ada, namun pada model perjanjian “click-wrap”, terms & contidition-nya yang hanya ada pada tampilan di komputer tentu akan menjadi perdebatan lebih lanjut. Mengenai data elektronik, perlu diperhatikan bahwa menurut HIR dan KUHAP, data elektronik merupakan informasi tambahan yang perlu diperkuat dengan keterangan ahli di pengadilan. Bahkan, HIR sama sekali tidak mengenal data elektronik


Keempat, mengenai status pengguna. Pada UU Perlindungan Konsumen, yang dimaksud dengan konsumen adalah konsumen akhir, yaitu pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sehingga apabila pengguna membeli lisensi software sebagai bagian dari proses suatu produksi yang akan dilakukannya (konsumen antara), maka pada dasarnya ketentuan-ketentuan pada UU Perlindungan Konsumen tidak dapat diberlakukan terhadap perikatan antara penyedia software dan penggunanya. Sehingga bagi pengguna yang berstatus konsumen antara, hanya berlaku ketentuan pada Buku Ketiga KUHPer tentang Perikatan, serta hal-hal lain yang menjadi kesepakatan antara penyedia software dan pengguna.


Penutup


Model perjanjian “shrink-wrap” dan “click-wrap” pada perjanjian lisensi software mungkin terlihat mudah dan ringkas dalam penerapannya, namun sebenarnya mengandung banyak implikasi hukum yang perlu diperhatikan, sebab menyangkut hak-hak konsumen yang harus dilindungi dari produk yang tidak berkualitas serta tindakan sepihak pelaku usaha yang hanya memikirkan keuntungannya sendiri.

4 Comments:

At 17/5/10 09:44, Anonymous Putri Rianda said...

makasih infonya Bang Ajo, lagi disuruh review software agreenment ni sama bos< ke Gramedia gak ada buku yg bahas ttg Software License Agreement mentoknya dibuku Hak cipta deh :)

 
At 6/12/10 15:25, Anonymous Anonymous said...

mkasih pak, tapi bisa gak tolong di share contoh software agreementnya.

 
At 4/10/15 17:43, Blogger Dinar Hasdinar said...

Menurut saya, perjanjian melalui media elektronik dapat dijadikan alat bukti yang sah karena berupa dokumen elektronik yang hasil cetaknya merupakan perluasan alat bukti yang sah menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pembuktian dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE menyatakan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Sementara itu, Pasal 5 ayat (2) UU ITE juga menegaskan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Namun,kedudukan hukumnya masih lemah dibandingkan perjanjian atau akta yang dibuat di hadapan notaris. Namun, perlu dikaji lebih lanjut mengenai syarat sahnya perjanjian tersebut.

 
At 4/10/15 17:44, Blogger Dinar Hasdinar said...

ini hasil wawancara saya dengan mas ari beberapa waktu lalu... maaf akan ke-soktahu-an saya.

 

Post a Comment

<< Home