Monday, November 24, 2008

Hak Cipta, Blogger dan Creative Commons

oleh Ari Juliano Gema

Pada hari Sabtu kemarin, saat Pesta Blogger 2008 diselenggarakan, saya bersama rekan saya, Ahmad Zakaria, menjadi pengisi materi, sekaligus pemandu diskusi, untuk berbagi pengetahuan tentang aspek-aspek hak kekayaan intelektual (HKI) yang berkaitan dengan kegiatan nge-blog. Agar peserta diskusi memiliki pemahaman yang sama tentang HKI, maka saya memulainya dengan memberikan prinsip-prinsip dasar tentang Hak Cipta, sebagai bagian dari HKI yang berkaitan erat dengan kegiatan nge-blog, menurut peraturan di Indonesia.

Saya jelaskan bahwa pada dasarnya hak cipta itu adalah hak seseorang, yang dilindungi oleh Negara, untuk mengumumkan dan memperbanyak karya ciptanya. Perlindungan hukum diberikan secara otomatis pada saat karya cipta itu diciptakan, tanpa perlu pendaftaran terlebih dahulu di Direktorat Jenderal HKI. Namun, saya sampaikan bahwa pendaftaran karya cipta sangat perlu dilakukan apabila: (i) diduga kuat karya cipta itu memiliki nilai komersil yang tinggi; atau (ii) diduga kuat karya cipta itu akan menjadi obyek sengketa.

Dalam suatu karya cipta melekat erat dua hak bagi pemiliknya, yaitu hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi adalah hak untuk memperoleh manfaat ekonomi dari karya cipta tersebut, sedangkan hak moral adalah hak yang meliputi: (i) hak agar nama pencipta tidak dihilangkan dari karya cipta; dan (ii) hak agar karya cipta tidak dilakukan modifikasi yang dapat merusak martabat atau reputasi pencipta.

Perbanyakan karya cipta milik orang lain tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran hak cipta apabila digunakan antara lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, karya ilmiah, laporan, resensi atau tinjauan atas satu masalah, selama tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pemilik karya cipta. Sumber karya cipta itu juga harus ditulis dengan jelas. Menurut UU Hak Cipta, kepentingan yang wajar adalah suatu kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu karya cipta. Namun, menurut saya kepentingan yang wajar juga harus mempertimbangkan apakah perbanyakan itu dapat merusak martabat atau reputasi dari pemilik karya cipta. Hal ini wajar, karena selain adanya hak ekonomi, dalam suatu karya cipta juga melekat hak moral dari pemilik karya cipta tersebut.

Upaya Hukum

Ketika diskusi dimulai, pertanyaan yang menjadi perhatian utama adalah mengenai upaya yang dapat dilakukan apabila hak cipta seorang blogger dilanggar. Saya sampaikan bahwa UU Hak Cipta memberikan jalan kepada pemilik karya cipta yang merasa hak ciptanya dilanggar untuk menempuh upaya hukum secara perdata atau pidana. Namun, apabila blogger memilih upaya hukum tersebut tentu saja harus mau menanggung konsekuensinya. Dalam hal ini, blogger harus siap menyediakan waktu, tenaga dan biaya untuk menjalani proses hukum tersebut. Untuk itu perlu dipertimbangkan masak-masak untung ruginya menempuh upaya hukum tersebut.

UU Hak Cipta juga membuka peluang adanya penyelesaian melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Namun, hal itu harus disepakati terlebih dahulu oleh kedua belah pihak. Biasanya, telah ada perjanjian terlebih dahulu mengenai pengumuman dan/atau perbanyakan suatu karya cipta, termasuk mengenai pilihan penyelesaian apabila terjadi sengketa.

Berdasarkan hasil diskusi, ternyata cara paling efektif adalah dengan memberikan sanksi sosial kepada pelanggar hak cipta tersebut. Disadari atau tidak, komunitas blogger kian hari kian bertambah besar. Jaringan blogger juga semakin luas. Ini memudahkan penyebarluasan informasi apabila ada pihak yang bertindak tidak fair terhadap blogger, termasuk melanggar hak cipta blogger tersebut. Dengan kekuatan jaringan blogger tersebut pihak yang melakukan pelanggaran tersebut dapat diberikan sanksi sosial berupa pengucilan atau dimasukkan dalam daftar hitam pihak-pihak yang tidak akan diajak kerjasama dalam kegiatan apapun (black list).

Disamping itu, beberapa penyedia layanan blog gratis ataupun situs-situs pertemanan/sosial telah membuat ketentuan yang jelas dan tegas tentang perbuatan yang melanggar hak cipta tersebut. Ketentuan itu biasanya memberikan hak kepada penyedia layanan untuk melakukan tindakan tegas terhadap pengguna layanan yang melanggar hak cipta, dengan atau tanpa adanya laporan dari pihak lain.

Lisensi Creative Commons

Dalam kesempatan tersebut, saya juga menyampaikan mengenai konsep lisensi Creative Commons (CC) yang selama ini saya gunakan di blog ini. Konsep lisensi CC dipromosikan sejak tanggal 16 Desember 2002 oleh Creative Commons, sebuah organisasi non-profit di Amerika Serikat. Pada dasarnya, lisensi CC ini membantu pemilik karya cipta untuk menyatakan sikapnya atas penggunaan hak cipta yang dimilikinya.

Apabila seorang blogger mem-posting karya ciptanya di blog, maka secara hukum setiap orang harus tahu bahwa karya cipta itu dilindungi hak cipta. Dengan begitu, tidak boleh ada orang yang memperbanyak atau mengumumkan karya cipta itu tanpa seizin pemiliknya. Namun, mungkin saja blogger itu sebenarnya membolehkan orang lain memperbanyak karya ciptanya dengan syarat namanya tetap dicantumkan pada karya cipta itu. Tanpa ada pernyataan sikap yang jelas, orang lain tidak akan mengetahui hal itu.

Lisensi CC memberikan kemudahan bagi seseorang untuk menyatakan sikapnya tersebut. Blogger dapat membubuhkan pada karya ciptanya simbol-simbol unik yang merepresentasikan sikapnya sesuai ketentuan lisensi CC. Untuk jelasnya, silakan melihat di link berikut: www.creativecommons.org/licenses.

Simbol-simbol itu berlaku dan dipahami secara universal di negara-negara yang menerapkannya. Sama seperti rambu-rambu lalu lintas yang pada umumnya sama di berbagai negara dan dipahami secara universal. Untuk mengaplikasikan lisensi CC di suatu negara perlu ada organisasi khusus di negara tersebut yang bertanggungjawab untuk memastikan bahwa lisensi CC sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara tersebut. Sayangnya, di Indonesia belum ada organisasi yang berinisiatif melakukannya. Menimbang bahwa lisensi CC sangat penting untuk diterapkan di Indonesia, para peserta diskusi telah berkomitmen untuk bekerjasama mewujudkan hal itu. Semoga.

(Bagi yang ingin mendapatkan bahan presentasi saya pada Pesta Blogger 2008 tersebut, silakan kirim e-mail ke ari.juliano@gmail.com)

Labels: , , , , , , , ,

Monday, November 17, 2008

Selamat Datang Yayasan Cipta Buku Indonesia!

oleh Ari Juliano Gema

Pada tanggal 13 Nopember 2008 lalu, saya menghadiri deklarasi pembentukan Yayasan Cipta Buku Indonesia (YCBI). Organisasi yang digagas oleh Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) ini akan bertindak sebagai pengumpul royalti untuk perbanyakan karya cipta berupa barang cetakan, yaitu antara lain buku, karya tulis, gambar, lukisan dan foto.

Menurut UU Hak Cipta, yang dimaksud perbanyakan adalah penambahan jumlah suatu ciptaan baik secara keseluruhan atau sebagian yang sangat substansial dengan menggunakan bahan yang sama atau tidak sama, termasuk pengalihwujudan. Perbanyakan suatu karya cipta wajib mendapat ijin dari pencipta atau pemegang hak ciptanya.

YCBI akan bertindak sebagai kuasa dari penerbit, penulis dan pemilik hak cipta atas barang cetakan untuk menagih dan mengumpulkan royalti dari pihak-pihak yang memperbanyak seluruh atau sebagian barang cetakan yang hak ciptanya telah dikuasakan pemiliknya kepada YCBI. Cara kerjanya tidak akan jauh berbeda dengan Yayasan Karya Cipta Indonesia yang mengumpulkan royalti untuk karya cipta berupa lagu dan musik.

Bukan Hal Baru

Organisasi seperti YCBI sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Organisasi sejenis YCBI, yang disebut sebagai Reproduction Rights Organization (RRO) ini, sudah banyak berdiri di berbagai negara. Saat ini, International Federation of Reproduction Rights Organization (IFRRO), sebuah federasi RRO sedunia yang digagas pada tahun 1984, memiliki 114 anggota yang tersebar di 55 negara.

Tujuan utama didirikannya IFRRO adalah meningkatkan pemahaman publik akan pentingnya menghargai hak cipta, mendukung pembentukan RRO di suatu negara yang belum memilikinya, dan memfasilitasi kerjasama antar RRO. IFRRO memfasilitasi kerjasama antar RRO dalam rangka pertukaran informasi, hubungan timbal balik dan perjanjian-perjanjian antar RRO yang berkaitan dengan lisensi dan pengumpulan royalti.

Pada prakteknya, sasaran pengumpulan royalti RRO adalah institusi pendidikan, institusi pemerintah, industri dan perdagangan, perpustakaan umum dan riset, institusi keagamaan, institusi budaya dan pusat penggandaan barang cetakan (copy center). Model lisensi yang diterapkan RRO umumnya ada dua, yaitu, repertoire license, dimana meski tidak ada kesepakatan terlebih dahulu, namun pihak yang memperbanyak barang cetakan yang hak ciptanya dimiliki pihak yang memberikan kuasa kepada RRO dianggap telah menyetujui ketentuan dan persyaratan yang ditentukan oleh RRO. Model lisensi ini biasanya digunakan untuk yang penggunaannya bersifat non-komersil.

Model lisensi yang lain adalah transactional case by case license, yang mana telah ada kesepakatan sebelumnya antara RRO dengan pihak yang bermaksud memperbanyak barang cetakan. Model lisensi seperti ini biasanya digunakan untuk kepentingan komersil.

Peluang dan Tantangan

Pada dasarnya, keberadaan YCBI memiliki dampak positif bagi semua pihak. Bagi penerbit dan penulis/pemilik karya cipta, hak mereka untuk mendapatkan kompensasi atas perbanyakan karya cipta mereka menjadi terlindungi. Bagi pihak yang memperbanyak karya cipta tersebut menjadi jelas kewajibannya terhadap pemilik karya cipta tersebut.

Sebagai contoh, apabila seorang dosen menyarankan mahasiswanya untuk membeli buku teks cetakan penerbit luar negeri, biasanya harga buku akan menjadi kendala. Mahasiswa cenderung akan mem-fotocopy buku tersebut. Penulis dan penerbit buku tersebut tentu saja akan dirugikan. Namun, dengan adanya YCBI maka masalah tersebut akan dapat diatasi.

Apabila YCBI telah memiliki kerjasama dengan RRO yang mendapat kuasa dari penulis atau penerbit buku tersebut (RRO asing), maka mahasiswa dapat mem-fotocopy buku tersebut di perpustakaan atau copy center yang telah memiliki kerjasama dengan YCBI. Tentunya biaya fotocopy buku lebih rendah ketimbang harga buku tersebut. Kemudian, perpustakaan atau copy center tersebut akan membayar royalti kepada YCBI yang besarnya sesuai dengan yang telah disepakati dengan YCBI. Royalti yang diterima YCBI tersebut akan didistribusikan kepada RRO asing tersebut. Penulis atau penerbit buku tersebut pada gilirannya akan mendapat pembagian royalti dari RRO asing tersebut. Cukup adil, bukan?

Dengan adanya YCBI, penerbit, penulis atau pemilik karya cipta tidak perlu repot-repot menagih sendiri kompensasi atas perbanyakan karya cipta mereka. Apabila mereka menjadi anggota YCBI, maka YCBI akan menjadi kuasa mereka untuk mengumpulkan royalti. Penerbit, penulis atau pemilik karya cipta tinggal menunggu pembagian royalti pada waktu yang disepakati dengan YCBI.

Namun, keberadaan YCBI juga menjadi tantangan bagi pihak-pihak yang terbiasa melakukan perbanyakan suatu karya cipta. Orang tidak bisa lagi sembarangan mengambil tulisan, foto, gambar atau lukisan milik orang lain untuk dimasukkan ke dalam karya mereka. YCBI tentu akan melakukan pengawasan yang intensif terhadap segala kegiatan perbanyakan karya cipta tersebut.

Keberadaan YCBI seharusnya bisa mendorong setiap orang untuk semakin bersemangat menghasilkan karya cipta. Apabila karya ciptanya ternyata digemari orang lain dan banyak pihak yang ingin memperbanyak karya cipta tersebut, maka akan menghasilkan manfaat yang nyata bagi pemilik karya cipta tersebut.
Selamat datang YCBI! Kami nantikan kontribusi nyatanya bagi kemajuan bangsa.

Labels: , , , , , ,

Monday, November 10, 2008

Apakah Syarat Mengusulkan Capres Merupakan Pelanggaran Konstitusi?

oleh Ari Juliano Gema

Dalam suatu talkshow, seorang pengamat hukum mengatakan bahwa adanya persyaratan prosentase perolehan suara tertentu bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusulkan calon presiden (capres) adalah melanggar konstitusi. Menurutnya, apabila ada ketentuan persyaratan prosentase tersebut seharusnya diatur di dalam UUD 1945, dan bukan melalui undang-undang (UU).

Ketentuan dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa tata laksana pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden diatur lebih lanjut dalam UU menurutnya hanyalah untuk mengatur mengenai proses pemilihan capres, dan bukan pembatasan bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusulkan capres. Menurutnya, apabila ketentuan dalam konstitusi dibatasi oleh ketentuan UU maka ketentuan UU itu melanggar konstitusi.

Perkembangan Masyarakat

Saya menghormati pendapat pengamat hukum tersebut. Dari mahzab penafsiran terhadap konstitusi yang diyakininya mungkin saja pendapatnya benar. Namun, saya tidak sependapat dengan pengamat hukum itu. Menurut saya, agar konstitusi dapat mengikuti perkembangan zaman sehingga menjadi living constitution, maka konstitusi seharusnya dapat mengikuti perkembangan dinamika masyarakat. Itulah sebabnya suatu konstitusi hanya mengatur hal-hal yang pokok saja. Pengaturan lebih lanjut dari hal-hal pokok tersebut diserahkan kepada peraturan yang lebih rendah, yang dalam ketatanegaraan kita diatur dalam UU.

Meski saya belum menemukan surveinya, namun secara umum masyarakat menganggap partai politik peserta pemilu saat ini terlalu banyak. Dampaknya, biaya penyelenggaraan pemilu membengkak, masyarakat kebingungan dalam menggunakan hak pilihnya, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu menjadi lebih sulit.

Memperhatikan perkembangan masyarakat tersebut dan kondisi perekonomian saat ini, saya pikir tidak berlebihan apabila masyarakat juga menghendaki adanya pembatasan jumlah capres yang maju dalam pemilihan presiden. Untuk itu, persyaratan prosentase perolehan suara tersebut sah-sah saja dibuat dalam rangka menyikapi perkembangan masyarakat tersebut.

Bayangkan saja seandainya ketentuan dalam konstitusi dibiarkan begitu saja diterapkan tanpa pengaturan lebih lanjut. UUD 1945 menentukan bahwa capres diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum (pemilu), namun tidak dijelaskan partai politik yang bagaimana yang dapat menjadi peserta pemilu agar dapat mengusulkan capres tersebut. Apabila tidak ada pengaturan dalam UU yang membatasi partai politik seperti apa yang dapat menjadi peserta pemilu, maka akan ada ratusan partai politik yang menjadi peserta pemilu, yang pada gilirannya akan melahirkan ratusan capres yang maju dalam pemilihan presiden.

Untuk itulah dibuat UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu) yang mengatur persyaratan yang membatasi partai politik untuk menjadi peserta pemilu. Meski pembatasan tersebut tidak diatur dalam konstitusi, tidak berarti bahwa ketentuan UU Pemilu tersebut melanggar konstitusi.

Saya pikir, apakah pengaturan dalam UU itu dianggap membatasi ketentuan dalam konstitusi atau tidak, bukanlah hal yang harus diperdebatkan. Perdebatan seharusnya lebih difokuskan pada apakah pengaturan tersebut telah mempertimbangkan perkembangan dinamika masyarakat atau tidak. Apabila tidak setuju dengan pembatasan dalam UU tersebut, bisa saja dilakukan amandemen terhadap UU yang bersangkutan atau mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi untuk dinilai apakah bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Intinya, janganlah memperlakukan konstitusi sebagai seonggok naskah suci yang tertutup rapat dari ruang penafsiran dan perdebatan.

Labels: , , , , , , ,

Monday, November 03, 2008

Catatan Kritis untuk RUU Pilpres

oleh Ari Juliano Gema

Setelah disahkan pada Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 29 Oktober 2008 lalu, Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (RUU Pilpres) mulai hangat diperbincangkan. Bahkan ada keinginan dari beberapa partai politik untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Saya mencoba memahami draft RUU Pilpres yang saya peroleh dari situs DPR RI (http://www.dpr.go.id) pada tanggal 30 Oktober 2008. Ada beberapa hal yang penting untuk diperhatikan dalam RUU Pilpres tersebut, yaitu:

1. Salah satu persyaratan menjadi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) adalah tidak pernah melakukan tindak pidana berat. Ada juga persyaratan yang menyatakan bahwa tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Apakah ada perbedaan yang mendasar antara tindak pidana berat dan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih? RUU Pilpres sendiri tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan tindak pidana berat.

2. Pejabat negara yang dicalonkan sebagai capres atau cawapres harus mengundurkan diri dari jabatannya. Dalam penjelasan RUU Pilpres disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pejabat negara adalah Menteri, Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi, Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Mengapa hanya ketua atau pimpinan lembaga tersebut saja yang dianggap pejabat negara? Sebagai contoh, menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, hakim konstitusi adalah pejabat negara, meski tidak menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Apakah ini berarti apabila ada hakim konstitusi yang dicalonkan sebagai capres atau cawapres maka ia tidak perlu mengundurkan diri dari jabatannya?

3. Gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota yang dicalonkan sebagai capres atau cawapres harus meminta izin kepada Presiden. Namun RUU Pilpres tidak mengatur dalam waktu berapa lama Presiden harus memberikan tanggapan atas permintaan izin tersebut. Apa yang terjadi apabila Presiden tidak memberikan izin? Apakah ada upaya hukum yang dapat dilakukan atas tidak diberikannya izin tersebut?

4. RUU Pilpres tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai pengertian istilah ”berhalangan tetap” yang mungkin dialami capres atau cawapres di beberapa pasal dalam RUU Pilpres. Sebagai perbandingan, dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) diatur bahwa salah satu hal yang membuat anggota pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan adalah apabila berhalangan tetap atau secara terus-menerus selama lebih dari 3 (tiga) bulan tidak dapat melaksanakan tugasnya. Pengaturan tersebut lebih jelas ketimbang pengaturan di RUU Pilpres.

5. Nama-nama pelaksana kampanye dan anggota tim kampanye pasangan capres-cawapres harus didaftarkan pada KPU di pusat maupun daerah masing-masing. Ini penting karena pelaksana kampanye dan tim kampanye adalah pihak yang bertanggungjawab atas pelaksanaan kampanye di lapangan. Anehnya, RUU Pilpres tidak mengatur sanksi apabila nama-nama pelaksana kampanye dan anggota tim kampanye tersebut tidak didaftarkan.

6. KPU wajib memfasilitasi penyebarluasan materi kampanye yang meliputi visi, misi dan program pasangan capres-cawapres melalui website KPU. Anehnya, tidak ada kewajiban bagi KPU untuk memaparkan profil lengkap capres/cawapres, yang seharusnya meliputi latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, dan latar belakang organisasi serta aktivitas sosial yang relevan lainnya.

7. RUU Pilpres mengatur beberapa keadaan yang membuat pemungutan suara di suatu Tempat Pemungutan Suara (TPS) wajib diulang seketika apabila pengawas pemilu lapangan dapat membuktikan terjadinya keadaan tersebut. Sayangnya, meski terbukti misalnya Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) mempengaruhi pemilih untuk memilih pasangan capres-cawapres tertentu, hal itu tidak termasuk keadaan yang membuat pemungutan suara di suatu TPS wajib diulang seketika.

8. Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi bencana alam dan/atau kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan suara tidak dapat dilakukan. Pemungutan suara ulangan itu dilakukan paling lama 10 (sepuluh) hari setelah hari/tanggal pemungutan suara. Namun, RUU Pilpres tidak mengatur apabila pada kenyataannya pemungutan suara ulangan itu tidak dapat dilaksanakan karena bencana alam dan/atau kerusuhan itu berlangsung lebih dari jangka waktu 10 (sepuluh) hari tersebut. Apakah hak suara para pemilih akan hangus begitu saja?

9. Penggunaan istilah “hari” dalam RUU Pilpres tidak jelas mengacu kepada hari kalender atau hari kerja. Hal ini dapat menimbulkan perselisihan pada pelaksanaannya.


Selain beberapa hal di atas, saya sangat menyayangkan tidak adanya ketentuan yang mengakomodir pasangan capres-cawapres dari jalur independen. Setelah perdebatan panjang, RUU Pilpres juga tidak berhasil mencantumkan aturan yang mengharuskan pimpinan partai politik untuk mundur dari jabatannya apabila terpilih sebagai presiden atau wakil presiden.

Labels: , , , , ,