Monday, March 26, 2007

Naomi Campbell, Sanksi Pidana dan Lembaga Pidana Bersyarat

oleh Ari Juliano Gema

Pada hari Senin, 19 Maret 2007, lalu, Naomi Campbell dengan sepatu hak lancipnya datang ke tempat penampungan sampah di kawasan Manhattan, New York, untuk mulai menjalani hukuman selama lima harinya, yaitu mengepel lantai dan membersihkan toilet (Antara, 20/03/07). Hukuman yang dijatuhkan pada model berusia 36 tahun itu berawal dari pengakuannya di pengadilan pada Januari 2007 lalu di mana ia mengaku bersalah secara gegabah melempar pembantu rumah tangganya dengan handphone hanya karena ia kesal pada sepasang pakaian "jeans" yang disiapkan pembantunya itu.

Dia juga didenda USD 363 sebagai ganti rugi biaya perawatan pembantunya itu dan diharuskan mengikuti pertemuan tentang mengelola kemarahan. Selama menjalani hukumannya, Naomi akan bekerja selama lima hari sejak pukul 08.00 pagi, dan setiap harinya ia bekerja selama tujuh jam dengan dua kali istirahat. Naomi adalah pesohor kedua yang baru-baru ini dijatuhi hukuman pelayanan masyarakat di New York, setelah sebelumnya penyanyi Boy George diperintahkan menyapu jalanan selama lima hari sebagai hukuman atas kepemilikan obat-obatan terlarang dan memberi laporan palsu tentang pembobolan rumahnya.

Sanksi Pidana

Ketika pertama kali membaca berita tentang kasus Naomi Campbell itu, saya jadi senyum-senyum sendiri membayangkan seandainya saja seleb-seleb kita yang sering bikin ulah itu juga dikenakan hukuman pelayanan masyarakat seperti yang dikenakan kepada Naomi Campbel dan Boy George itu. Namun, apakah sistem hukum kita memungkinkan hal itu?

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sanksi pidana pada pokoknya terdiri atas pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda. Sebenarnya, orang yang dijatuhi pidana penjara atau pidana kurungan bisa diwajibkan bekerja di dalam atau di luar tahanannya. Namun, tidak jelas apakah definisi bekerja itu meliputi juga hukuman pelayanan masyarakat seperti yang dikenakan kepada Naomi Campbell itu. Lagipula, KUHP mengatur bahwa orang itu tetap harus ditahan terlebih dahulu.

Namun, KUHP juga mengatur bahwa apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan, maka dalam putusannya hakim dapat memerintahkan bahwa sanksi pidana itu tidak perlu dijalankan, dengan memberikan masa percobaan kepada orang yang bersangkutan. Apabila dalam masa percobaan itu, si terpidana melakukan suatu tindak pidana atau si terpidana tidak memenuhi suatu syarat khusus yang diperintahkan dalam putusan hakim, maka si terpidana wajib menjalani pidana penjara atau pidana kurungan yang telah diputuskan hakim tersebut. Hal ini disebut sebagai pidana bersyarat.

Lembaga Pidana Bersyarat

Menurut KUHP, disamping selama masa percobaan si terpidana tidak boleh melakukan suatu tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa selama masa percobaannya si terpidana harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan pidananya. Disamping itu, dapat pula ditentukan syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku si terpidana yang harus dipenuhi sepanjang atau sebagian dari masa percobaannya. Namun, syarat-syarat itu tidak boleh mengurangi kemerdekaan agama atau kemerdekaan politik dari si terpidana.

Jadi, sebenarnya sistem hukum kita memungkinkan hakim untuk memutuskan pidana bersyarat bagi seseorang dengan syarat khusus melakukan pelayanan masyarakat untuk suatu waktu tertentu selama masa percobaan. Namun, sependek pengetahuan saya sepertinya belum ada hakim yang memberikan putusan seperti itu.

Menurut penelitian Prof. Muladi, sebenarnya penerapan pidana bersyarat mengandung beberapa keuntungan. Beberapa keuntungan itu antara lain: (i) memberikan kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki dirinya di dalam masyarakat; (ii) memberikan kesempatan kepada terpidana untuk berpartisipasi dalam pekerjaan-pekerjaan, yang secara ekonomis menguntungkan masyarakat dan keluarga; dan (iii) biaya yang harus ditanggung Negara lebih murah dibandingkan dengan pidana penjara atau pidana kurungan (Muladi, 1985).

Prof. Muladi mengemukakan bahwa dalam prakteknya lembaga pidana bersyarat ini tidak dapat diterapkan secara optimal karena beberapa alasan, yaitu antara lain, pertama, belum adanya pedoman yang jelas tentang penerapan pidana bersyarat, yang mencakup hakekat, tujuan yang hendak dicapai serta ukuran-ukuran di dalam penjatuhan pidana bersyarat. Kedua, belum melembaganya pola-pola pengawasan dan pembinaan dan sistem kerjasama dalam pengawasan dan pembinaan terhadap terpidana yang dijatuhi pidana bersyarat.

Ketiga, jaksa dan hakim masih sangat selektif dan membatasi diri dalam menuntut dan menjatuhkan sanksi pidana bersyarat. Padahal sebenarnya KUHP memberikan kemungkinan untuk menerapkan sanksi pidana bersyarat secara lebih luas.

Seandainya saja semua pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan yang diputuskan hakim dapat diterapkan sanksi pidana bersyarat dengan salah satu syarat khususnya adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat seperti yang diterapkan kepada Naomi Campbell dan Boy George, maka selain memberikan efek jera pasti juga memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Apalagi apabila terpidana tersebut dapat diperbantukan untuk membantu meringankan penderitaan korban bencana alam yang kerap terjadi di tanah air dan membangun fasilitas sosial dan fasilitas umum di berbagai daerah.

Bagaimana menurut anda?

Friday, March 16, 2007

Hak Cipta dan Access to Knowledge

oleh Ari Juliano Gema

Beberapa hari lalu saya diundang oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) untuk memberikan masukan kepada YLKI dalam rangka mempersiapkan usulan revisi UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC). Lho, apa hubungannya YLKI dengan revisi UUHC?

Ternyata, sudah sejak tahun 2005 YLKI bersama dengan Consumers International on the Regional Office of Asia and Pacific (CIROAP) mengadakan penelitian tentang keleluasaan maksimal yang disediakan oleh instrumen internasional mengenai Hak Kekayaan Intelektual, khususnya Hak Cipta, kepada negara berkembang dalam rangka meningkatkan keleluasaan untuk melakukan akses terhadap ilmu pengetahuan (access to knowledge) sebagai bagian dari hak konsumen. Penelitian itu dilakukan dengan mengkaji regulasi di bidang hak cipta yang berkaitan dengan access to knowledge di sebelas negara berkembang se-Asia Pasifik, termasuk Indonesia.

Pembatasan Hak Cipta

Hak cipta memberikan hak eksklusif kepada pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya. Dengan begitu, pencipta atau pemegang hak cipta dilindungi haknya oleh Negara untuk melarang atau memberikan izin kepada pihak lain untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, kecuali untuk hal-hal yang dibatasi dalam UUHC.

Penelitian YLKI dan CIROAP di Indonesia khusus menyoroti beberapa ketentuan dalam UUHC yang mengatur pembatasan hak cipta. Salah satu ketentuan itu adalah adanya kondisi tertentu yang tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta sepanjang sumbernya disebutkan atau dicantumkan, yaitu antara lain penggunaan ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan, pengambilan ciptaan pihak lain untuk kepentingan pembelaan di pengadilan, dan pengambilan ciptaan untuk keperluan ceramah ilmiah atau pertunjukan yang tidak dipungut bayaran, yang kesemuanya itu tidak merugikan kepentingan yang wajar dari penciptanya.

Hasil penelitian YLKI dan CIROAP mengungkapkan bahwa kata-kata “penggunaan” dan “pengambilan” itu tidak jelas apakah termasuk untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaan sebagaimana dimaksud oleh UUHC. Ketidakjelasan ini dapat dijadikan alasan oleh pencipta atau pemegang hak cipta untuk mempermasalahkan perbanyakan dan/atau pengumuman ciptaannya oleh pihak lain meski untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Pengertian “kepentingan yang wajar” menurut UUHC adalah suatu kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu ciptaan. Atas pengertian tersebut, UUHC tidak memberikan kriteria lebih lanjut untuk menentukan apakah suatu kondisi telah merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta.

Fair Use

Saya sendiri melihat bahwa masalah keleluasaan access to knowledge ini sebenarnya berkaitan erat dengan masalah pengumuman dan/atau perbanyakan suatu ciptaan oleh pihak lain secara wajar sehingga tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran hak cipta. Dalam rezim hukum Amerika Serikat (AS) hal ini dikenal sebagai “Fair Use”, sedangkan dalam rezim hukum Inggris dikenal sebagai “Fair Dealing”.

Di AS sendiri tidak ada kriteria yang pasti untuk menentukan suatu pengumuman dan/atau perbanyakan ciptaan oleh pihak lain itu dapat dianggap fair use. Namun, dalam praktek, hakim di AS seringkali mempertimbangkan empat hal untuk menyelesaikan perselisihan yang berkaitan dengan fair use tersebut, yaitu, pertama, dengan melihat hasil pengumuman dan/atau perbanyakannya. Apabila ada informasi, ekspresi, nilai estetika, pemahaman atau sudut pandang baru atas sebagian atau seluruh ciptaan yang diumumkan/diperbanyak oleh pihak lain tersebut, maka kemungkinan besar hakim akan memutuskan bahwa pengumuman/perbanyakan ciptaan oleh pihak lain itu dapat dianggap fair use.

Kedua, menilai aspek publisitas ciptaan. Apabila suatu ciptaan belum pernah dipublikasikan oleh penciptanya, maka kemungkinan besar hakim akan memutuskan bahwa pengumuman/perbanyakan ciptaan oleh pihak lain itu bukan termasuk fair use.

Ketiga, menilai kualitas bagian ciptaan yang diambil. Meskipun bagian yang diambil dari suatu ciptaan hanya sebagian kecil saja, namun kalau bagian kecil itu merupakan ciri khas dari suatu ciptaan, kemungkinan besar hakim akan memutuskan bahwa pengumuman/perbanyakan bagian dari suatu ciptaan oleh pihak lain itu bukan termasuk fair use.

Keempat, menilai dampak pengumuman/perbanyakan ciptaan terhadap hak ekonomi pencipta. Apabila pengumuman/perbanyakan suatu ciptaan oleh pihak lain mengakibatkan kerugian materiil bagi pencipta atau kehilangan peluang untuk mendapatkan keuntungan (opportunity lost), maka kemungkinan besar hakim akan memutuskan bahwa pengumuman/perbanyakan ciptaan oleh pihak lain itu bukan termasuk fair use.

Dalam praktek, penilaian hakim memang tidak selalu menggunakan empat hal di atas seluruhnya. Kadang hanya dengan mempertimbangkan dua hal saja hakim sudah memiliki keyakinan untuk memutuskan apakah tindakan tersebut dapat dianggap fair use.

Saya pikir, UUHC hasil revisi nanti harus juga memuat kriteria yang jelas seperti hal di atas. Sehingga dapat memberikan panduan bagi setiap orang yang ingin mengumumkan/memperbanyak ciptaan orang lain dalam rangka access to knowledge. Hal ini penting untuk memperjelas keseimbangan antara kepentingan pencipta dan kepentingan umum.

Labels: , ,

Tuesday, March 06, 2007

Kemacetan, Penegak Hukum dan Terobosan Hukum

Oleh Ari Juliano Gema

Hari Minggu kemarin, kami sekeluarga terjebak dalam kemacetan akibat pertandingan sepakbola yang diselenggarakan di Stadion Lebak Bulus, Jakarta. Seusai pertandingan, para supporter yang hendak pulang banyak berkerumun di perempatan jalan sehingga menyulitkan kendaraan untuk lewat. Belum lagi beberapa angkutan umum yang membawa para supporter diparkir seenaknya di sekitar Stadion Lebak Bulus turut menambah semrawutnya jalan raya.

Rambu-rambu lalu lintas dan lampu merah tidak dihiraukan lagi. Klakson kendaraan terdengar riuh saling bersahut-sahutan. Semua kendaraan ingin berjalan mendahului yang lain. Saat itulah beberapa orang anggota polisi mulai turun tangan mengatur jalannya lalu lintas. Meski para supporter melakukan tindakan-tindakan provokatif agar angkutan umum yang mereka tumpangi tidak mematuhi pengaturan dari para anggota polisi itu, namun para anggota polisi itu tetap bersikap tenang dan tegas dalam menjalankan tugasnya. Keadaan pun berangsur-angsur dapat dipulihkan, sehingga kami sekeluarga akhirnya dapat terbebas dari kemacetan itu. Salut kepada para anggota polisi yang bertugas pada saat itu!

Arti dan Tujuan Hukum

Pada waktu kuliah dulu, seorang dosen pernah bertanya: “apakah arti hukum itu?” Pertanyaan yang remeh kelihatannya, tapi membuat kami para mahasiswa hukum terdiam lama untuk memikirkan jawabannya. Menurut Prof. Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka (1979), setidak-tidaknya ada sembilan arti hukum yang dipahami oleh masyarakat, yaitu: (i) hukum sebagai ilmu pengetahuan; (ii) hukum sebagai disiplin; (iii) hukum sebagai kaedah; (iv) hukum sebagai tata hukum; (v) hukum sebagai petugas; (vi) hukum sebagai keputusan penguasa; (vii) hukum sebagai proses pemerintahan; (viii) hukum sebagai perikelakuan yang teratur; dan (ix) hukum sebagai jalinan nilai-nilai.

Apabila kita kembali pada peristiwa kemacetan di atas, maka rambu-rambu lalu lintas dan lampu merah itu sebenarnya adalah perwujudan hukum sebagai tata hukum, yaitu struktur dan proses perangkat kaedah-kaedah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis/berwujud. Perilaku orang berkendara yang biasanya teratur dan patuh pada rambu-rambu lalu lintas adalah perwujudan dari hukum sebagai perikelakuan yang teratur atau diulang-ulang dengan cara yang sama untuk mencapai kedamaian, yang pada saat itu justru menjadi tidak teratur dengan mengabaikan rambu-rambu lalu lintas.

Pada saat itulah para anggota polisi “mengambil alih” peran hukum dari rambu-rambu lalu lintas dan perilaku orang berkendara agar kembali tercapai kedamaian dalam berlalu lintas. Itulah yang menjadi tujuan hukum sesungguhnya, yaitu kedamaian karena adanya keserasian antara dua nilai atau kepentingan yang berbeda, yaitu antara lain antara ketertiban dengan kebebasan, atau kepentingan pribadi dengan kepentingan umum (Soekanto dan Purbacaraka, 1979).

Orang-orang dapat menerima tindakan anggota polisi itu karena anggota polisi adalah juga perwujudan dari hukum, yaitu sebagai petugas atau pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum. Anggota polisi itu juga terlihat sungguh-sungguh dalam melakukan upaya untuk mengembalikan kedamaian bagi para pengguna jalan. Dalam sistim hukum kita, petugas atau penegak hukum itu, selain polisi, juga mencakup hakim, jaksa dan advokat.

Terobosan Hukum

Disadari atau tidak, dalam peristiwa kemacetan itu sebenarnya terjadi suatu terobosan hukum yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Ketika rambu-rambu lalu lintas tidak lagi dipatuhi oleh para pengguna jalan, maka aparat kepolisian “mengambil alih” peran rambu-rambu lalu lintas itu. Aparat kepolisian telah “menciptakan” aturan baru untuk mengatasi kemacetan tersebut.

Pada lingkup kehidupan yang lebih luas, terobosan hukum yang dilakukan oleh penegak hukum seringkali dibutuhkan untuk mengatasi kemacetan hukum yang mengakibatkan terganggunya kedamaian masyarakat. Salah satu contoh terobosan hukum yang paling hebat menurut saya adalah pada saat Mahkamah Agung RI (MA) menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3 Tahun 1963.

SEMA itu diterbitkan atas dasar pertimbangan MA bahwa beberapa ketentuan dalam Burgerlijk Wetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda tidak sesuai untuk diterapkan dalam zaman kemerdekaan Indonesia. Untuk itu, dalam SEMA tersebut MA menganggap tidak berlakunya beberapa pasal dalam KUHPer, termasuk Pasal 108 dan 110 tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di muka pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya. Dengan demikian, tidak ada lagi perbedaan hak antara seorang istri dan suami di hadapan hukum.
Meski secara hirarki perundang-undangan kedudukan SEMA lebih rendah dari KUHPer, namun pada kenyataannya SEMA itulah yang diikuti dalam praktek peradilan. Terlepas dari pro dan kontra seputar terbitnya SEMA pada tahun 1963 itu, bagi saya SEMA itu tetap merupakan contoh hebat terobosan hukum di Indonesia. SEMA itu telah membawa kembali kedamaian yang semula terusik karena perlakuan yang tidak adil dalam KUHPer, salah satunya terhadap hak perempuan di hadapan hukum.

Labels: