Thursday, July 29, 2010

Ariel, Video dan Hukum Pidana

oleh Ari Juliano Gema

Dengan pemberitaan yang begitu gencar oleh media massa, tidak ada orang yang tidak tahu soal video porno yang diduga melibatkan Nazriel Irham, vokalis grup musik Peterpan yang lebih dikenal dengan nama Ariel. Penyidik di Mabes Polri pun melakukan serangkaian pemeriksaan terhadap Ariel dan pihak-pihak lainnya yang diduga terlibat dalam pembuatan dan penyebaran video porno tersebut, hingga akhirnya setelah memperoleh bukti yang cukup, pada tanggal 22 Juni 2010 lalu Mabes Polri menetapkan Ariel sebagai tersangka dan kemudian melakukan penahanan untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Awalnya, dalam beberapa pemberitaan di media massa terdapat kesimpangsiuran mengenai tindak pidana apa yang disangkakan kepada Ariel. Namun, belakangan Mabes Polri menyampaikan bahwa setidaknya Ariel dituduh melanggar pasal 4 ayat 1 jo. pasal 29 UU Pornografi, pasal 27 ayat 1 jo. pasal 45 UU ITE dan pasal 282 KUHP.

Untuk mengetahui apa sebenarnya yang dituduhkan kepada Ariel, ada baiknya kita membahas satu persatu ketentuan-ketentuan dalam UU Pornografi, UU ITE dan KUHP yang dituduhkan kepada Ariel. Setidaknya dari sana nanti dapat diketahui bagaimana posisi hukum Ariel dalam kasus yang menimpanya tersebut.

UU Pornografi

Saat UU Pornografi masih dalam pembahasan dan bernama Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP), beberapa elemen masyarakat di berbagai daerah menentangnya. Penolakan terbuka datang juga dari beberapa pimpinan daerah seperti Gubernur Bali Made Mangku Pastika dan Ketua DPRD Bali Ida Bagus Wesnawa, Ketua DPRD Papua Barat Jimmya Demianus Ijie, dan Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya.

Pembahasan RUU APP itu sebenarnya dimulai sejak tahun 1997. Namun dengan adanya penolakan dari berbagai elemen masyarakat itu, pembahasan RUU APP pun mengalami tarik ulur. Pangkal persoalan dari penolakan terhadap RUU APP itu karena RUU APP dianggap hendak mengatur moral dan akhlak manusia Indonesia secara pukul rata, mengaburkan batas antara ruang publik dan ruang privat, serta beberapa istilah dalam RUU Pornografi tersebut bersifat kabur (tidak pasti) sehingga berpotensi multitafsir.

Setelah mengalami beberapa kali perubah-an dengan memperhatikan tuntutan masyarakat, akhirnya RUU APP disahkan pada Rapat Paripurna DPR pada tanggal 30 Oktober 2008 dan diundangkan pada tanggal 26 November 2008 sebagai UU Pornografi. Menurut UU Pornografi, yang dimaksud dengan pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.

Unsur ”dapat membangkitkan hasrat seksual” dan ”melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat” dalam pengertian pornografi tersebut pada dasarnya juga dapat menimbulkan ketidakpastian. Respon seseorang ketika melihat suatu obyek tentu tidak selalu sama dengan orang lain. Sesuatu hal mungkin dapat membangkitkan hasrat seksual seseorang, namun belum tentu hal tersebut dialami juga oleh orang lain.

Begitu pula dengan nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat, dengan fakta bahwa masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, bangsa dan agama tentu memiliki sistem nilai dan norma yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Seseorang yang menggunakan koteka di pedalaman Papua mungkin tidak akan dianggap melanggar nilai-nilai kesusilaan di sana. Hal ini tentu saja berbeda jika orang berkoteka itu berjalan-jalan di kota Padang misalnya.

Apabila kita melihat ketentuan Pasal 4 ayat 1 UU Pornografi yang dituduhkan kepada Ariel, maka dapat diketahui bahwa setiap orang dilarang untuk memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang memuat: a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual; c. masturbasi atau onani; d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; atau e. alat kelamin. Pelanggaran atas ketentuan pasal tersebut dapat diancam dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250 juta dan paling banyak Rp 6 miliar, sebagaimana diatur dalam pasal 29 UU Pornografi.

Dalam penjelasan pasal 4 ayat 1 tersebut diterangkan bahwa yang dimaksud dengan ”membuat” adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. De-ngan demikian, membuat materi yang me-ngandung pornografi untuk disimpan sen-diri seharusnya tidak dapat dianggap melanggar pasal 4 ayat 1 tersebut.

UU ITE

Materi UU ITE pada dasarnya tidak terlepas dari dua naskah akademis yang disusun oleh dua institusi pendidikan yakni Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Universitas Indonesia (UI). Tim Unpad ditunjuk oleh Departemen Komunikasi dan Informasi RI, sedangkan Tim UI ditunjuk oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan.

Pada penyusunannya, Tim Unpad bekerjasama dengan para pakar di Institut Teknologi Bandung yang kemudian menamai naskah akademisnya dengan RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI). Sedangkan Tim UI menamai naskah akademisnya dengan RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik (RUU IETE). Kedua naskah akademis tersebut pada akhirnya digabung dan disesuaikan kembali oleh tim yang dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama pemerintah), sehingga namanya menjadi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana disahkan oleh DPR pada tanggal 25 Maret 2008 dan diundangkan pada tanggal 21 April 2008.

Selain mengatur seputar keabsahan informasi elektronik/dokumen elektronik dan transaksi elektronik, UU ITE juga meng-atur mengenai beberapa tindak pidana yang telah diatur dalam KUHP yang disebarluaskan dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, yaitu antara lain penghinaan atau pencemaran nama baik; penyebaran tulisan atau gambar yang melanggar kesusilaan; perjudian; dan pemerasan atau pengancaman. Masalahnya, tidak ada penjelasan lebih lanjut dalam UU ITE me-ngenai pengertian penghinaan, pencemaran nama baik dan kesusilaan tersebut. Padahal, KUHP sendiri tidak memberikan penjelasan mengenai hal tersebut. Akibat ketidakjelas-an pengertian tersebut, hal ini sering menimbulkan masalah dalam penerapan pasal-pasal KUHP tersebut.

Pasal 27 ayat 1 UU ITE yang dituduhkan kepada Ariel pada pokoknya melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar ke-susilaan. Bagi pelanggarnya dapat diancam pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar, sebagaimana dimaksud pasal 45 ayat 1 UU ITE.

KUHP

Sebelum masa kemerdekaan, hukum pidana di Indonesia diatur dalam Wetboek van Strafrecht voor Nederlansch Indie (WvSNI) yang mulai diberlakukan di wilayah Hindia Belanda sejak 1 Januari 1918. Setelah Indonesia merdeka, melalui UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia dan UU No. 73 Tahun 1958, WvSNI diganti judulnya menjadi Wetboek van Strafrecht, atau disebut juga Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang setelah dilakukan perubahan dan penambah-an dapat diberlakukan untuk seluruh Indonesia. KUHP yang digunakan sekarang ini adalah terjemahan dari Wetboek van Strafrecht tersebut.

Sebagai produk hukum masa Hindia Belanda, KUHP tentu tidak bisa mengatur de-ngan terperinci semua hal yang baru ada di kemudian hari. Hal ini dapat dilihat pada pa-sal 282 KUHP yang dituduhkan kepada Ariel. Pada pokoknya, pasal tersebut mengatur larangan untuk menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan, gambar atau benda di muka umum, yang isinya melanggar kesusilaan. Pelanggar pasal tersebut dapat diancam pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan.

Pasal tersebut tidak menyebut ”video” sebagai obyek yang disebarluaskan. Namun, sepertinya penyidik berpendirian bahwa ”gambar” seharusnya bisa diinterpretasikan juga sebagai ”gambar bergerak”, sehingga ”video” dapat masuk dalam lingkup pasal 282 KUHP tersebut.

Metode interpretasi yang digunakan penyidik itu disebut interpretasi secara ekstensif, yaitu penafsiran dengan cara memperluas arti kata-kata yang terdapat dalam undang-undang sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkan ke dalamnya. Metode interpretasi tersebut biasanya digunakan hakim dalam melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) manakala pengaturan suatu undang-undang tidak memadai.

Suatu contoh penggunaan metode interpretasi secara ekstensif yang telah dikenal luas adalah bahwa menyambung atau menyadap aliran listrikdapat dianggap sebagai tindak pidana pencurian sebagaimana di-atur dalam pasal 362 KUHP. Interpretasi ini menganggap ”listrik” sebagai perluasan arti dari ”barang (benda)” sebagaimana dimaksud dalam pasal 362 KUHP.

Unsur ”melanggar kesusilaan” yang bersifat normatif dalam pasal 282 KUHP pada dasarnya tidak mudah untuk dibuktikan. Hal ini karena tidak mudah untuk mengukur nilai-nilai kesusilaan secara obyektif, sebagaimana sudah saya jelaskan dalam pembahasan UU Pornografi di atas.

Posisi Hukum Ariel

Tuduhan berlapis-lapis yang dialamatkan kepada Ariel tersebut menunjukkan begitu besarnya keinginan penyidik Mabes Polri agar Ariel tidak dapat lolos dengan mudah dari jerat hukum. Penyidik mungkin menyadari bahwa kalaupun dapat dibuktikan bahwa Ariel yang membuat video tersebut, tuduhan dengan menggunakan pasal 4 ayat 1 UU Pornografi dapat gugur jika Ariel dapat membuktikan bahwa video itu dibuat untuk kepentingan diri sendiri.

Tuduhan dengan mempergunakan UU Pornografi tersebut juga dapat gugur jika Ariel dapat membuktikan bahwa video tersebut dibuat sebelum UU Pornografi mulai berlaku. Hal ini sesuai dengan asas legalitas dalam hukum pidana sebagaimana tercantum dalam pasal 1 ayat 1 KUHP, yaitu bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.

Untuk menjaga kemungkinan lolosnya Ariel dari jerat UU Pornografi, penyidik Mabes Polri juga menggunakan pasal-pasal mengenai penyebarluasan konten yang melanggar kesusilaan sebagaimana diatur dalam UU ITE dan KUHP. Namun tuduhan menyebarluaskan video tersebut juga dapat digugurkan jika Ariel dapat membuktikan bahwa ia tidak pernah berniat atau secara se-ngaja menyebarluaskan video tersebut ataupun menyu-ruh orang untuk melakukan hal itu.

Ada juga yang berpendapat bahwa ke-lalaian Ariel untuk menyimpan video tersebut dengan hati-hati sehingga menyebabkan tersebarluasnya video tersebut seharusnya juga bisa dipidana. Namun apabila melihat pasal-pasal yang dituduhkan kepada Ariel tersebut, tidak ada satupun pasal yang dapat digunakan untuk menjerat Ariel karena unsur kelalaian tersebut.

Dalam teori hukum pidana dikenal dalil ”ultimum remedium” atau disebut sarana terakhir dalam rangka menentukan perbuatan apa saja yang akan dikriminalisasi (dijadikan delik atau perbuatan yang apabila dilakukan akan berhadapan dengan pemidanaan). Dalil ”ultimum remedium” itu sangat penting untuk diperhatikan agar tidak terjadi over criminalization.

Oleh karena itu, hukum pidana tidak boleh digunakan secara emosional, atau sekadar untuk balas dendam. Apalagi jika menggunakan hukum pidana hanya untuk memuaskan tuntutan masyarakat, tanpa peduli apa-kah unsur-unsur pidananya terpenuhi untuk disebut sebagai kejahatan.

Semoga saja polisi, jaksa dan hakim dapat melihat kasus yang melibatkan Ariel dan pihak-pihak yang terlibat lainnya itu dengan lebih bijaksana. Dengan demikian, siapa yang sebenarnya menjadi korban tidak duduk di bangku pesakitan untuk dipaksa mempertanggungjawabkan kejahatan yang tidak dilakukannya.


*Tulisan ini pernah dimuat di Majalah "RollingStone" Edisi Agustus 2010

Labels: , , ,