Seputar Etika Tweet Berbayar
oleh Ari Juliano Gema
Saya tertarik membaca tulisan Pandji Pragiwaksono di blognya yang berjudul
“Siapa yang mau follow mereka?”.
Intinya, tulisan itu menyoroti aktifitas tweet berbayar untuk iklan produk dan
dukungan politik.
Kalau kita berbicara tentang aktifitas beriklan
sebenarnya sudah ada Etika Pariwara Indonesia (EPI) yang mengatur mengenai
tatakrama dan tata cara periklanan di Indonesia yang harus dipahami dan
dipatuhi perusahaan periklanan, serta pengiklan dan mitra usahanya. EPI
pertamakali diikrarkan oleh insan periklanan pada tanggal 17 September 1981,
dan terakhir disempurnakan pada tahun 2005.
EPI telah disepakati keberlakuannya oleh berbagai
asosiasi atau lembaga yang terkait dengan aktifitas periklanan, seperti Persatuan
Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia
(ATVSI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), dan Serikat
Penerbit Suratkabar (SPS). Dengan demikian, sepanjang yang menyangkut
periklanan, EPI menjadi induk yang memayungi semua standar etika periklanan
internal yang terdapat pada kode etik masing-masing asosiasi atau lembaga
pengemban dan pendukungnya.
Iklan dan
Periklanan Kebijakan Publik
Menurut EPI, iklan adalah
pesan komunikasi pemasaran atau komunikasi publik tentang sesuatu
produk yang disampaikan melalui sesuatu media, dibiayai oleh pemrakarsa
yang dikenal, serta ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat.
Iklan tersebut meliputi iklan korporat, iklan layanan masyarakat dan iklan
promo program. EPI mengatur juga mengenai kesaksian konsumen (testimony) dan anjuran (endorsement) dalam menyampaikan pesan
periklanan.
EPI
mengatur bahwa kesaksian konsumen (testimony)
harus merupakan kejadian yang benar-benar dialami, tanpa bermaksud untuk melebih-lebihkannya.
Untuk itu, kesaksian konsumen harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis
yang ditandatangani oleh konsumen tersebut. Perusahaan periklanan atau
pengiklan harus dapat memberikan identitas dan alamat pemberi kesaksian yang
lengkap jika lembaga penegak etika periklanan memintanya guna memeriksa
kebenaran kesaksian tersebut.
Sedang
untuk anjuran (endorsement), EPI mengatur
bahwa pernyataan, klaim atau janji yang diberikan harus terkait dengan
kompetensi yang dimiliki oleh penganjur. Penganjur adalah tokoh atau orang
biasa yang ditampilkan dalam sesuatu pesan periklanan untuk mengajak orang lain
menggunakan atau mengkonsumsi sesuatu produk yang diiklankan tersebut, tanpa
mengesankan bahwa dia sendiri pernah menggunakan atau mengkonsumsi produk
terkait.
Untuk
jenis-jenis produk tertentu, ada juga pengaturan khusus mengenai anjuran. Misal,
iklan tidak boleh menggambarkan atau menimbulkan kesan pemberian anjuran
tentang penggunaan obat tertentu oleh profesi kesehatan seperti dokter,
perawat, farmasis, laboratoris, dan pihak-pihak yang mewakili profesi
kesehatan.
Sehubungan
dengan ragam iklan, EPI mengatur juga periklanan tentang kebijakan publik.
Periklanan tersebut meliputi periklanan yang mempromosikan kebijakan
penyelenggara negara, periklanan yang mempromosikan pendapat suatu kelompok
tentang kebijakan publik, dan periklanan selama masa kampanye pemilihan
legislatif, pemilihan presiden atau pilkada oleh partai politik atau calon peserta
pemilihan.
Menurut
EPI, iklan kebijakan publik itu harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
- Tampil jelas sebagai suatu iklan.
- Tidak menimbulkan keraguan atau ketidaktahuan atas identitas pengiklannya. Identitas pengiklan yang belum dikenal secara umum, wajib mencantumkan nama dan alamat lengkapnya.
- Tidak bernada mengganti atau berbeda dari suatu tatanan atau perlakuan yang sudah diyakini masyarakat umum sebagai kebenaran atau keniscayaan.
- Tidak mendorong atau memicu timbulnya rasa cemas atau takut yang berlebihan terhadap masyarakat.
- Setiap pesan iklan yang mengandung hanya pendapat sepihak, wajib mencantumkan kata-kata “menurut kami”, “kami berpendapat” atau sejenisnya.
- Jika menyajikan atau mengajukan suatu permasalahan atau pendapat yang bersifat kontroversi atau menimbulkan perdebatan publik, maka harus dapat – jika diminta –memberikan bukti pendukung dan atau penalaran yang dapat diterima oleh lembaga penegak etika, atas kebenaran permasalahan atau pendapat tersebut.
- Terkait dengan butir (6) di atas, iklan kebijakan publik dinyatakan melanggar etika periklanan, jika pengiklannya tidak dapat atau tidak bersedia memberikan bukti pendukung yang diminta lembaga penegak etika periklanan.
- Jika suatu pernyataan memberi rujukan faktual atas temuan sesuatu riset, maka pencantuman data-data dari temuan tersebut harus telah dibenarkan dan disetujui oleh pihak penanggungjawab riset dimaksud.
- Tidak boleh merupakan, atau dikaitkan dengan promosi penjualan dalam bentuk apa pun.
Penegakan
EPI dilakukan oleh Dewan Periklanan Indonesia (DPI). DPI berwenang memutuskan
bentuk dan bobot sanksi yang perlu dijatuhkan oleh asosiasi atau lembaga
periklanan nasional kepada anggotanya. Bentuk sanksi terhadap pelanggaran EPI
tesebut adalah peringatan tertulis dan penghentian penyiaran periklanan atau
mengeluarkan rekomendasi sanksi kepada lembaga-lembaga terkait.
Iklan dan Media Baru
Ok, lalu bagaimana dengan tweet berbayar? Pada
dasarnya, sepanjang suatu pesan dapat dikategorikan sebagai iklan, termasuk
pesan melalui twitter, maka ketentuan-ketentuan EPI berlaku. Penggunaan buzzer atau influencer untuk menyampaikan pesan periklanan, termasuk dukungan
politik berbayar, melalui twitter seharusnya juga tunduk dengan ketentuan EPI mengenai
kesaksian konsumen (testimony), anjuran
(endorsement) dan ketentuan iklan
kebijakan publik sebagaimana dijelaskan diatas.
Apakah memang twitter termasuk media periklanan
yang diatur dalam EPI? Sebenarnya EPI mengatur juga ketentuan mengenai
”media baru”, yaitu suatu saluran komunikasi nonkonvensional yang
secara elektronik menyampaikan pesan periklanan berupa teks, tanda, citra, atau paduannya, baik secara daring (on line) ataupun secara
laring (off line), serta dengan atau tanpa pengenaan
harga premium. Dari pengertian tersebut, jelas twitter masuk kategori media
baru.
Hal ini semakin dikuatkan dengan fakta bahwa pada tahun 2011 lalu, sebuah biro iklan pernah ditegur oleh Badan Pengawas Periklanan PPPI karena melakukan promosi minuman berakohol melalui twitter. Hal ini setidaknya menunjukkan dua hal, yaitu twitter termasuk media periklanan yang diatur dalam EPI dan penyampaian pesan periklanan melalui twitter tidak luput dari pengawasan lembaga penegak etika periklanan.
Sumber gambar: Smashinghub.co.uk