Monday, September 01, 2008

Sengkon-Karta. Lingah-Pacah. Devid-Kemat. Tunggu Siapa Lagi?

oleh Ari Juliano Gema

Apakah sejarah selalu berulang? Saya tidak bisa menjawab dengan pasti. Yang pasti apabila kita tidak mau belajar dari sejarah, maka kesalahan yang terjadi di masa lalu kemungkinan besar akan berulang kembali di masa sekarang.

Pada tahun 1980-an, pernah ada kasus ”Sengkon-Karta”. Kasus ini menyangkut nasib anak manusia bernama Sengkon dan Karta yang telah divonis bersalah karena melakukan pembunuhan terhadap pasangan suami istri Sulaiman-Siti Haya di Desa Bojongsari, Bekasi. Namun, kemudian ada seseorang bernama Gunel yang membuat pengakuan bahwa Sengkon dan Karta bukanlah pembunuh yang sesungguhnya, karena Gunel-lah yang melakukan pembunuhan itu.

Pada tahun 1990-an, pernah ada kasus ”Lingah-Pacah”. Kasus ini menyangkut nasib anak manusia bernama Lingah, Pancah dan Sumir yang telah divonis bersalah karena melakukan pembunuhan terhadap Pamor di Dusun Pangkalan Pakit, Kabupaten Ketapang. Namun, kemudian ada seseorang bernama Asun yang membuat pengakuan bahwa Lingah, Pancah dan Sumir bukanlah pembunuh Pamor yang sebenarnya, karena Asun-lah yang melakukan pembunuhan terhadap Pamor.

Pada tahun 2008, ada kasus ”Devid-Kemat”. Kasus ini menyangkut nasib anak manusia bernama Devid dan Kemat yang telah divonis bersalah karena melakukan pembunuhan terhadap Asrori di Jombang, Jawa Timur. Namun, kemudian berdasarkan test DNA diketahui bahwa Asrori adalah salah satu dari sekian banyak korban Very Idam Heryansyah alias Ryan. Hal ini membuat publik mempertanyakan putusan bersalah terhadap Devid dan Kemat tersebut.

Hak Tersangka atau Terdakwa

Untuk kasus “Devid-Kemat” memang masih menjadi perdebatan. Pihak kepolisian masih mencoba menyelidiki apakah ada kesalahan prosedur dalam penyelidikan kasus pembunuhan Asrori sehingga menyebabkan Pengadilan Negeri Jombang menjatuhkan vonis bersalah kepada Devid dan Kemat, masing-masing selama 12 tahun dan 17 tahun.

Saya tidak tertarik untuk terlalu jauh mencampuri penyelidikan polisi tersebut. Yang menarik perhatian saya adalah informasi dari berbagai literatur yang saya baca berkenaan dengan tiga kasus di atas. Ternyata ada beberapa kesamaan yang melatarbelakangi tiga kasus tersebut, yaitu, pertama, orang-orang yang divonis bersalah tersebut adalah orang-orang dari kalangan yang tidak mampu dan buta hukum.

Kedua, mereka tidak didampingi penasehat hukum pada proses pemeriksaan di kepolisian. Ketiga, mereka diduga mengalami intimidasi dalam berbagai bentuk pada proses pemeriksaan tersebut agar mau mengakui kejahatan yang tidak mereka lakukan.

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari penasehat hukum selama, dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan. Dalam hal tersangka atau terdakwa: (i) melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih; atau (ii) bagi mereka yang tidak mampu secara materil yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih, yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, maka pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka. Atas penunjukan tersebut, penasehat hukum memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.

Seandainya saja ketentuan dalam KUHAP tersebut benar-benar dijalankan, maka mungkin dapat diminimalisir terjadinya tiga kasus tersebut dan kasus-kasus serupa lainnya yang saat ini mungkin belum terdeteksi oleh media massa. Tentu saja pelaksanaan ketentuan dalam KUHAP tersebut hanya dapat berhasil apabila ada kerjasama yang baik diantara catur wangsa penegak hukum, yaitu hakim, polisi, jaksa dan advokat.

Dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa, hakim, polisi dan jaksa harus menganggap advokat sebagai mitra kerja mereka, dan bukan musuh yang harus dijauhi atau bahkan diperangi. Hakim, polisi dan jaksa harus menyadari bahwa advokat adalah salah satu pilar pendukung sistem peradilan pidana.

Bantuan Hukum

Dalam memutuskan suatu perkara, hakim tentu harus memiliki informasi yang seimbang dari pihak polisi dan jaksa sebagai pihak yang ingin memberikan hukuman yang optimal kepada tersangka atau terdakwa, dan dari pihak tersangka atau terdakwa yang menginginkan hukuman seringan-ringannya. Tanpa pengetahuan hukum yang memadai, akan sulit bagi tersangka atau terdakwa untuk memperjuangkan sendiri keinginannya tersebut. Untuk itulah kehadiran advokat diperlukan dalam rangka membantu tersangka atau terdakwa memperjuangkan hak-hak dan keinginannya. Demikianlah seharusnya sistem peradilan pidana bekerja. Tanpa kehadiran advokat, maka sistem peradilan pidana akan pincang.

Sepanjang memenuhi ketentuan dalam KUHAP tersebut, hakim, polisi dan jaksa tidak boleh ragu menunjuk advokat untuk mendampingi tersangka atau terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan. Meski saat ini sedang diperjuangkan RUU Bantuan Hukum yang pada pokoknya mengatur mekanisme bantuan hukum kepada orang yang tidak mampu, organisasi advokat tetap harus membuat mekanisme yang mengatur agar kewajiban advokat untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu sebagaimana diamanatkan dalam UU Advokat dapat diselaraskan dengan ketentuan dalam KUHAP tersebut. Hal ini harus segera dilakukan. Jangan menunggu sampai ada lagi pihak-pihak yang menjadi korban sistem peradilan pidana yang pincang.

Labels: , , , , , , , , ,

3 Comments:

At 4/9/08 13:28, Anonymous Anonymous said...

tulisan dan ulasan yang bagus ni Boss AJo, sekedar menekankan sedikit ini juga merupakan sebuah contoh bagaimana azas "praduga tak bersalah" diterapkan di lingkungan kepolisian

 
At 15/9/08 11:44, Anonymous Anonymous said...

Nice blog...and bermakna..Tetap Semangat...

 
At 30/9/08 17:49, Anonymous Anonymous said...

Speaking about history, well... here is my favourite saying on it: "History has taught us that history did not teach us anything..."

 

Post a Comment

<< Home