Tuesday, December 30, 2008

Segera Atur Tata Cara Penetapan Anggota DPR/DPRD!

oleh Ari Juliano Gema
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 22-24/PUU-VI/2008 yang diucapkan pada Sidang Pleno Terbuka MK tanggal 23 Desember 2008 lalu mulai menuai reaksi. Putusan itu membuat Pasal 214 huruf (a), (b), (c), (d) dan (e) dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD & DPRD (UU Pemilu) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat alias tidak berlaku lagi.

Pasal 214 UU Pemilu pada dasarnya mengatur bahwa calon terpilih anggota DPR/DPRD ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% dari Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP). Dalam hal terdapat lebih dari satu calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% dari BPP, maka kursi anggota DPR/DPRD diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut yang lebih kecil diantara calon lainnya tersebut.

Kekosongan Hukum

Banyak kalangan menganggap bahwa dengan tidak berlakunya Pasal 214 tersebut membuat penetapan anggota DPR/DPRD otomatis dilakukan berdasarkan calon yang memperoleh suara terbanyak. Hal ini didasarkan pada pertimbangan MK yang menyatakan bahwa dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan pemenang adalah berdasarkan suara terbanyak, oleh karena itu penentuan calon terpilih harus pula didasarkan pada siapapun calon anggota legislatif yang mendapat suara terbanyak secara berurutan, dan bukan atas dasar nomor urut terkecil yang telah ditetapkan.

Namun, perlu diingat bahwa MK hanya berwenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, bukan membuat ketentuan baru dalam suatu undang-undang. Dengan demikian, dalam UU Pemilu sebenarnya telah terjadi kekosongan hukum dalam mengatur cara penetapan anggota DPR/DPRD.

Satu-satunya ketentuan yang mengatur hal itu adalah Pasal 213 UU Pemilu yang mengatur bahwa calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota masing-masing ditetapkan oleh KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota. Dengan begitu, cara menetapkan anggota DPR/DPRD tersebut seolah-olah diserahkan kepada KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota.

Ketentuan Pengganti

Untuk mengatasi kekosongan hukum tersebut, menurut saya, sebenarnya ada tiga cara yang dapat dilakukan, yaitu: (i) DPR bersama-sama pemerintah melakukan amandemen UU Pemilu untuk membuat ketentuan pengganti Pasal 214 tersebut; (ii) pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) yang mengatur cara menetapkan anggota DPR/DPRD; atau (iii) KPU menerbitkan Peraturan KPU yang mengatur cara menetapkan anggota DPR/DPRD. Ketentuan pengganti yang dibuat dengan cara manapun tentu harus memperhatikan pertimbangan Putusan MK yang menekankan penggunaan suara terbanyak.

Menimbang berbagai hal, saya pikir akan lebih baik apabila KPU saja yang mengambil tindakan, dengan menerbitkan Peraturan KPU, ketimbang dilakukan amandemen UU Pemilu atau diterbitkannya Perpu oleh pemerintah. Alasannya, untuk melakukan amandemen UU Pemilu tentu harus melalui beberapa tahap yang membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Belum lagi apabila dalam proses amandemen UU Pemilu ternyata pembahasannya melebar kemana-mana.

Pun, apabila pemerintah menerbitkan Perpu, maka masih terdapat kemungkinan Perpu tersebut ditolak oleh DPR ketika Perpu diajukan kepada DPR pada persidangan berikutnya. Alasan penolakan mungkin saja karena kepentingan politik sebagian besar anggota DPR tidak terakomodasi dalam Perpu tersebut. Hal ini tentu akan membahayakan kelancaran penyelenggaraan pemilu.

Ketentuan pengganti Pasal 214 tersebut akan lebih kuat posisi hukumnya apabila dibuat dalam bentuk Peraturan KPU. Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, KPU berwenang menyusun dan menetapkan pedoman yang bersifat teknis untuk tiap-tiap tahapan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Wewenang tersebut diimplementasikan dalam bentuk Peraturan KPU.
Apabila ada pihak yang tidak setuju dengan ketentuan dalam Peraturan KPU tersebut, dapat saja Peraturan KPU tersebut diajukan ke Mahkamah Agung (MA) untuk diuji apakah bertentangan dengan undang-undang diatasnya atau tidak. Namun, uji materi oleh MA tersebut jelas lebih minim dari pengaruh kepentingan politik. Lagipula, sepanjang Peraturan KPU tersebut sejalan dengan pertimbangan Putusan MK tersebut, maka KPU tidak perlu ragu dengan Peraturan KPU yang dibuatnya.

Labels: , , , , , , , , , , ,

1 Comments:

At 6/1/09 01:26, Blogger kangbahra said...

salam

 

Post a Comment

<< Home