Monday, December 04, 2006

Ratu Felisha, Tindak Pidana dan Peran Negara

oleh Ari Juliano Gema

Masih ingat berita heboh tentang artis film/sinetron Ratu Felisha? Untuk menyegarkan ingatan, saya akan sedikit menguraikan kronologi kasus itu. Menurut berita di media massa, pada 20 Nopember 2006, Ratu Felisha, yang akrab disapa Feli, terlibat adu mulut dengan penyanyi Andhien dan pacarnya, Andhika, di sebuah mal di kawasan Senayan, Jakarta. Adu mulut tersebut membuat emosi Feli memuncak, hingga akhirnya Feli memukul kepala Andhika dengan hak sepatunya sampai kepala Andhika berdarah.

Akibat kejadian itu, Andhika mengadukan Feli atas dugaan penganiayaan ke Mapolres Jakarta Pusat. Atas pengaduan itu, pada 30 Nopember 2006, Feli diperiksa di Mapolres Jakarta Pusat selama kurang lebih 9 Jam. Kemudian, pada 1 Desember 2006, Feli resmi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Mapolres Jakarta Pusat untuk menjalani pemeriksaan intensif. Berdasarkan keterangan Andhika, Feli sebenarnya sudah mengajukan permohonan maaf kepada Andhika, dan Andhika sendiri sudah memaafkannya. Untuk itu, Andhika dan Feli sedang mengupayakan suatu perdamaian di antara mereka.

Tindak Pidana

Menurut informasi dari media massa, Feli dijadikan tersangka berdasarkan ketentuan Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang pada pokoknya mengatur bahwa penganiayaan diancam dengan pidana penjara maksimal 2 tahun 8 bulan, dan apabila mengakibat luka-luka berat pada si korban maka pelaku dapat diancam dengan pidana penjara maksimal 5 tahun. Namun apabila penganiayaan itu tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau pencaharian maka menurut Pasal 352 ayat (1) KUHP si pelaku hanya diancam dengan pidana penjara maksimal 3 bulan.

Kalau Andhika sudah memaafkan Feli, bukankah berarti masalahnya sudah selesai? Tunggu dulu. Masalah yang mana dulu, nih? Kalau masalah di antara Andhika dan Feli mungkin sudah selesai, tapi masalah Feli dengan Negara Republik Indonesia belum tentu selesai. Lho, apa hubungannya dengan Negara Republik Indonesia, sih?

Jelas ada hubungannya, dong. Negara Republik Indonesia memiliki hukum pidana yang mengatur hubungan-hubungan hukum yang menyangkut kepentingan publik. Oleh karena itu, menurut Prof. Wirjono Prodjodikoro (1981), penegakan hukum pidana pada hakikatnya tidak tergantung dari kehendak seorang individu, yang in concreto langsung dirugikan, melainkan terserah kepada Negara sebagai representasi dari kepentingan publik. Dengan begitu Negara berwenang mengambil alih konflik yang terjadi antara pelanggar hukum pidana dengan korbannya, menjadi konflik antara pelanggar dengan Negara atau kepentingan publik. Negara kemudian menjadi satu-satunya pihak yang menjadi korban dari suatu kejahatan, walaupun dalam kenyataannya ada orang secara individu atau kolektif menderita dan dirugikan karena kejahatan itu (Mudzakkir: 2001).

Meski pada dasarnya proses hukum pidana tidak dapat dihentikan oleh si korban, namun memang ada pengecualian untuk beberapa tindak pidana yang dapat dihentikan proses pemeriksaannya apabila korban atau pihak yang mengadukan suatu tindak pidana menarik kembali pengaduan yang telah diajukan sebelumnya. Beberapa tindak pidana yang disebut sebagai delik aduan itu antara lain tindak pidana yang berhubungan dengan perzinahan (Pasal 284 KUHP), membawa lari perempuan (Pasal 332 KUHP), membuka rahasia (Pasal 322 KUHP), mengancam dengan penghinaan atau dengan membuka rahasia agar mendapat barang (pasal 369 KUHP), serta macam-macam penghinaan (Pasal 310 KUHP dan seterusnya), kecuali penghinaan terhadap seorang penguasa selama atau tentang melakukan jabatan.

Dengan demikian, karena penganiayaan tidak termasuk delik aduan, maka meskipun Andhika telah memaafkan Feli, dan Andhika kemudian menarik pengaduan yang diajukannya, proses hukum yang sedang dijalani Feli tidak dapat dihentikan begitu saja. Aparat kepolisian sebagai alat Negara hanya dapat menghentikan proses hukum terhadap Feli apabila: (i) tidak terdapat cukup bukti; (ii) peristiwa tersebut ternyata bukan tindak pidana; atau (iii) penyidikan dihentikan demi hukum. Apabila proses hukum dihentikan, maka aparat kepolisian akan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan, atau yang lebih dikenal sebagai SP3.

Pembelajaran

Merujuk hal di atas, kiranya perlu disadari bahwa Negara punya kewajiban untuk memastikan adanya keadilan bagi pelaku tindak pidana, korban dan kepentingan publik melalui suatu sistem peradilan pidana (criminal justice system). Hal ini untuk mencegah jangan sampai ada tindak pidana yang diselesaikan di luar sistem peradilan pidana yang justru akan berdampak buruk bagi kepentingan publik. Dijalankannya proses hukum pidana secara konsisten adalah untuk memberikan contoh bagi publik agar tidak melakukan tindak pidana yang sama dan memberikan pelajaran kepada pelaku tindak pidana agar tidak mengulang perbuatannya lagi dikemudian hari.

Dengan adanya kasus Ratu Felisha ini, mudah-mudahan kita dapat belajar, bahwa nasehat kuno “pikir dulu sebelum bertindak” kiranya tetap relevan untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai perasaan menyesal baru datang belakangan, karena bagaimanapun juga sesal kemudian tiada berguna.

7 Comments:

At 5/12/06 10:44, Blogger Untung Wibowo said...

saya Untung Wibowo dari FHUI '02, saya pernah bertemu anda di pelatihan Kom beberapa tahun yang lalu. saya telah membaca beberapa artikel yang telah anda muat di blog ini. menurut saya artikel anda sangat menarik karena gaya penulisannya tidak rumit dan mudah dimengerti namun tidak lepas dari aspek hukum yang ada.
masukan saya disini adalah bagaimana kalau anda menulis artikel anda kedalam bahasa inggris. bukan untuk bergaya kebarat-baratan namun saya rasa dengan memakai bahasa inggris akan lebih banyak pembaca yang dapat anda dapatkan dan dengan sendirinya anda juga memperkenalkan dunia hukum Indonesia ke masyarakat dunia ini.

Untung Wibowo
achtungw@hotmail.com

 
At 5/12/06 10:45, Blogger Untung Wibowo said...

This comment has been removed by a blog administrator.

 
At 5/12/06 10:54, Anonymous Anonymous said...

ELu bener2 bahas ttg fatwa MA ini bro ?? Truth semua ini diawali dari pemikirin gue lho..hahahahaha...

Truth ada yg ga bener dibalik itu semua yg gue sendiri ga stuju tuh..

However..gue teteplah anak buah yg bisa kasih pemikiran n ga bisa buat kputusan hahahah..

Lanjutkan sesuai rencana bro..

Goklas Sirait
91.0334

 
At 5/12/06 15:07, Anonymous Anonymous said...

Terima kasih atas masukannya, Untung ...

Tulisan-tulisan saya memang dibuat agar mudah dipahami khususnya oleh orang-orang yang tidak berlatarbelakang pendidikan hukum. Harapan saya, setiap orang punya pengetahuan dasar yang memadai dalam melihat dan menyikapi masalah-masalah hukum yang terjadi sehari-hari.

Saya memang berkeinginan untuk membuat tulisan dalam dua bahasa. Mudah-mudahan keinginan itu bisa terwujud tahun depan.

 
At 5/12/06 15:13, Anonymous Anonymous said...

Halo, Goklas!

Tulisan tentang Fatwa MA itu sebenarnya dibuat untuk "menetralisir" anggapan sebagian kalangan bahwa dengan keluarnya Fatwa MA itu maka upaya pemberantasan korupsi akan terhambat. Padahal ada beberapa upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk melindungi kekayaan negara yang menjadi setoran modal di BUMN.

Nice to meet you, Bro!

 
At 9/12/06 10:54, Blogger chat1111 said...

This comment has been removed by a blog administrator.

 
At 19/12/06 12:51, Anonymous Anonymous said...

mmm jadi ingat dengan pengalaman ketika mendampingi staff kantor menjadi saksi dalam kasus dimana ada seorang wanita yang putus cinta mengancam mantan pacarnya dengan email akan melakukan pengeboman di kediaman pacarnya di luar negeri, dia tidak menyangka bahwa tindakannya itu akan menjebloskannya ke penjara dan membuat 2 negara repot. jadi think before act tuhhh penting banget ya.. :)

 

Post a Comment

<< Home