Thursday, October 12, 2006

Langkah Taktis 'Membungkam' Aktivis

oleh Ari Juliano Gema

----------------------------------------------------------------------------------
PERINGATAN: Tulisan ini hanya boleh dibaca oleh pejabat yang sering dibuat “gerah” oleh aktivis yang kritis, termasuk oposan dan lawan politik, terhadap dirinya. Bagi orang-orang yang bercita-cita jadi pejabat juga boleh membacanya. Bagi anda yang tidak termasuk kategori orang-orang di atas harap tidak membaca tulisan ini.
----------------------------------------------------------------------------------

Saat ini, didemo atau dikritik oleh aktivis bagi pejabat mungkin sudah menjadi sarapan sehari-hari. Masalahnya, seringkali pejabat itu salah dalam mengambil langkah untuk “menanggulangi” kegiatan yang dilakukan aktivis tersebut. Cara-cara biadab seperti menteror, menculik, menyiksa bahkan menghilangkan nyawa aktivis yang bersangkutan jelas tidak bisa ditolerir karena alasan sebagai berikut, pertama, sudah jelas cara-cara tersebut melanggar hukum. Jadi kalau ada pejabat yang melakukan cara-cara seperti itu pasti ia berjiwa preman atau manusia barbar zaman batu.

Kedua, cara-cara itu akan mengundang kecaman dan tekanan negatif dari publik di dalam maupun luar negeri. Jangan pernah menyepelekan hal ini, karena sudah banyak rezim pemerintahan yang jatuh karena tekanan dari dalam maupun luar negeri. Ketiga, cara-cara seperti itu justru akan semakin memperkuat keberanian dan semangat perlawanan dari kawan-kawan aktivis itu. Ingat, aktivis kadang memiliki jaringan aktivis yang berperilaku seperti aliran air, yang kalau dibendung maka aliran air akan berkumpul dan semakin kuat tekanannya untuk mendobrak atau melampaui bendungan tersebut untuk tetap mengalir sampai ketujuannya.

Langkah Taktis

Agar seorang pejabat dapat menanggulangi kegiatan aktivis yang membuat “gerah” itu, tanpa menggunakan cara-cara biadab, kiranya perlu dipahami dulu hal-hal dasar yang dapat membuat seorang manusia melupakan idealismenya. Sudah sering kita dengar bahwa ada tiga hal yang dapat melemahkan idealisme seseorang, yaitu harta, tahta dan wanita. Apabila seorang pejabat dapat memberikan satu saja dari tiga hal itu, maka bisa jadi aktivis tersebut tidak akan bersuara kritis lagi kepada pejabat tersebut. Model-model pemberian tiga hal tersebut akan diuraikan di bawah ini.

1. Harta

Kalau pejabat memberikan uang dalam jumlah besar secara langsung kepada seorang aktivis tentu sangat kentara sekali upaya “membungkam” aktivis tersebut. Oleh karena itu, pemberian materi sebenarnya dapat dilakukan secara tidak langsung, yaitu antara lain dengan mengundang aktivis itu sebagai narasumber dalam forum diskusi, seminar atau simposium dengan memberikannya honorarium yang tinggi, serta fasilitas akomodasi dan transportasi kelas satu. Semakin sering aktivis itu diundang ke forum seperti itu, semakin jarang ia bersuara kritis di luar forum.

Bisa juga dengan memberikan beasiswa atau merekomendasikan pihak-pihak di luar negeri agar aktivis itu dapat diberi kesempatan belajar di luar negeri. Pernah ada seorang aktivis yang sering ikut demonstrasi menentang tindakan Pemerintah AS menyerbu Irak dan Afghanistan. Ketika ia mendapat beasiswa untuk belajar di AS, ia sama sekali tidak pernah melakukan demonstrasi menentang tindakan Pemerintah AS di sana, padahal bukankah kantornya Mr. George Bush dapat lebih mudah didatangi?

Apabila aktivis itu tergabung dalam suatu organisasi, bisa juga pejabat itu memberikan donasi yang besar untuk organisasinya, agar organisasi itu merasa berhutang budi. Mungkin saja pejabat itu dapat diangkat sebagai Dewan Penasehat atau Dewan Penyantun di organisasi tersebut, sehingga dapat “mengontrol” tindakan aktivis itu.

2. Tahta

Pejabat dapat menawarkan jabatan penasehat, staf ahli atau tenaga ahli kepada aktivis yang sering mengkritiknya. Bisa juga dengan membuat komisi-komisi atau tim-tim yang (seolah-olah) independen yang akan diisi dengan aktivis-aktivis kritis itu. Dengan melibatkan aktivis kritis dalam lingkaran birokrasinya, maka di satu sisi pejabat tersebut mendapat legitimasi kuat karena (seolah-olah) didukung oleh aktivis kritis, di sisi lain aktivis tersebut mungkin tidak akan bersuara kritis lagi terhadap pejabat tersebut di luar karena sama saja dengan mengkritik dirinya sendiri.

Bisa juga menawarkan jabatan konsultan ataupun direksi dan komisaris di BUMN yang berada di bawah pengawasannya. Mungkin juga dengan menawari aktivis itu jabatan duta besar di negara sahabat, sebagaimana sering diterapkan oleh rezim Orde Baru.

3. Wanita/Jodoh

Sebagaimana dilakukan oleh raja-raja di Indonesia dahulu, apabila seorang raja merasa mendapat ancaman dari kerajaan lain, dan apabila berdasarkan pertimbangannya ia tidak mampu mengalahkan kerajaan tersebut dengan jalan perang terbuka, maka biasanya ia akan menawarkan anak atau kerabat istana untuk dijodohkan dengan raja, anak raja atau kerabat raja saingannya itu. Dengan jalan itu, dua kerajaan itu tidak perlu takut akan terjadi perang terbuka di antara mereka, karena pada dasarnya mereka terikat dalam hubungan perkawinan.

Pejabat juga dapat membuat situasi dan kondisi sedemikian rupa sehingga aktivis atau keluarga aktivis itu dapat terikat dalam hubungan perkawinan dengan keluarga dari pejabat yang bersangkutan. Sehingga apabila ada perbedaan pendapat antara pejabat dan aktivis tersebut, hal itu dapat diselesaikan secara kekeluargaan, dan tidak perlu jadi konsumsi publik.

Penutup

Apabila ada aktivis yang tidak mau menerima tiga hal tersebut di atas karena benar-benar ingin mempertahankan idealismenya, maka pejabat tersebut tidak perlu berkecil hati. Bahkan pejabat tersebut harus bersyukur kepada Tuhan YME, karena saat ini sudah sangat langka manusia yang idealis di negeri ini. Disamping pejabat tersebut tidak perlu bersusah payah menawarkan atau memberikan tiga hal di atas, juga pejabat tersebut bisa yakin akan ketulusan segala kritikan atau tindakan aktivis itu.

Bagaimanapun juga, seorang pejabat haruslah menanggapi aspirasi-aspirasi rakyat dan terbuka untuk menerima kritik-kritik sehat yang membangun dan konstruktif. Aktivis yang idealis itu harus diperlakukan sebagai “mitra kerja” dengan kebersamaan dalam rangka meluruskan hal-hal buruk yang mungkin terjadi dari kebijakan yang diambil pejabat tersebut, untuk menuju perbaikan dan kemajuan bangsa dan negara.

Selamat mencoba!

6 Comments:

At 12/10/06 16:40, Anonymous Anonymous said...

he he ... kirain ada langkah2 baru :)
ternyata masih 3-ta ...

menurutku sih ada beberapa langkah tambahan yang bisa dilakukan untuk menyingkirkan aktivis/lawan politis
1. Disekolahkan ke luar negeri atau didubeskan
2. Difitnah, dikasih predikat2 jelek, misal berhubungan dengan PKI lah, ingin berbuat makar lah
3. Diungkit2 kejelekannya, biar nama baiknya jatuh
4. Dijebak, misal dilemparin shabu2, terus digrebek sama polisi
5. Langkah terakhir ... di-Munir-kan

semoga bermanfaat :)

 
At 12/10/06 16:50, Anonymous Anonymous said...

Wikan, 3-ta itu berlaku sepanjang masa. Mungkin variasi penerapannya aja yang berbeda.

Kalau dibaca dari tulisan itu, sebenarnya udah masuk tuh disekolahkan ke luar negeri dan di-dubes-kan. Tapi kalau langkah-langkah lain yang kamu usulkan itu, saya nggak sependapat, karena sedari awal saya menghindari cara-cara yang melanggar hukum.

Thanks anyway!

 
At 13/10/06 13:47, Anonymous Anonymous said...

tambahan lagi
dipidana dengan hatzai artikelen
digugat

 
At 13/10/06 15:13, Anonymous Anonymous said...

Thanks buat tambahannya, Anggara.
Tapi kalo dihadapi secara terbuka seperti itu biasanya aktivis dan jaringannya jadi semakin kuat dan solid. Belum lagi tekanan dari publik kalo ternyata banyak yang respect dengan perjuangan aktivis itu.

Jadi lebih baik cari jalan aman aja deh :)

 
At 30/11/06 09:20, Anonymous Anonymous said...

So what dengan aktivis?
dari pada sibuk-sibuk mo ngelenyapin akitivis, mending intropeksi diri.. buat bapak-bapak yang jadi pejabat, kalo hidupnya lurus, bersih, kan hidpu jadi tenang, negara juga adil dan makmur, kalo udah begitu, dengan begitu gak akan ada tuh kritik dan teriakan aktivis.
keuntungan dari intropeksi ini:
1. Anda gak perlu melakukan dosa sekecil apa pun tuk susah-susah nyingkirin orang.
2. kritik itu kayak operasi bedah kanker. kalo dianggap positif, meskipun sakit, tapi berguna.
3. Aktivis itu ibarat kutu, selama kepala tuh orang gak bersih, dia akan hidup di situ. jadi upaya apapun gak akan pernah bisa mengakhiri munculnya aktivis. Amerika serikat yang negara dah 300 tahun masih gerah dengan protes aktivis anti perang, anti diskriminasi, anti aborsi, dll.
4. saya kira semua orang bisa mabuk dengan harta, tahta, dan wanita. mau itu ustad dan kiyai sekalipun. tinggal tuh orang punya iman kuat gak. kalo tuh aktivis punya iman kuat, mati gaya dah lo mo ngerusak mereka dengan cara apapun.
5. di Indonesia, kita punya figur kayak Yap Thiam Hiem, Baharudin Lopa, Munir, Bung Hatta, dll, dan mungkin akan terus muncul yang baru.

Ahura-Mazda

 
At 30/11/06 11:24, Anonymous Anonymous said...

Thanks untuk komentarnya, Ahura-Mazda

Tulisan ini dibuat karena keprihatinan saya terhadap dua hal, yaitu: (i) penguasa yang menggunakan cara-cara biadab dalam menetralisir kekritisan aktivis; dan (ii) oportunis 'berjubah' aktivis yang ternyata cuma mengejar harta dan kekuasaan saja.

Oleh karena itu, saya mengusulkan langkah-langkah yang disatu sisi 'ngasih tau' kepada para pejabat dan calon pejabat bahwa "ini lho, ada cara yang lebih elegan kalo mau menetralisir aktivis", dan disisi lain sekaligus sebagai sarana "menyeleksi" mana aktivis yang oportunis dan mana yang benar-benar idealis.

 

Post a Comment

<< Home