… Rajawali tua itu telah pergi (Memoar Prof. Riswandha Imawan, 1955 – 2006) Saya mengenal dan mengagumi sosok Prof. Dr. Riswandha Imawan, pengamat politik dan guru besar ilmu politik UGM, berawal dari artikel-artikel beliau yang seringkali hadir di beberapa media cetak nasional. Hal yang menarik perhatian saya dari artikel-artikel beliau adalah kalimat “eagle flies alone” yang selalu menjadi penutup artikel-artikel tersebut. Awalnya saya tidak terlalu memikirkan maksud dari kalimat penutup tersebut, namun setelah usia semakin bertambah sejalan dengan upaya pencarian makna hidup, saya baru dapat benar-benar memahami filosofi dari kalimat “eagle flies alone” tersebut. Filosofi dari kalimat yang diungkapkan oleh Prof. Riswandha tersebut ternyata sangat dalam sekali. Rajawali adalah salah satu jenis burung yang selalu terbang sendiri, tidak pernah terbang bergerombol atau menunggu kelompoknya untuk terbang bersama-sama. Rajawali tidak pernah takut akan badai, bahkan ketika badai datang Rajawali terbang lebih tinggi lagi. Rajawali juga tidak pernah memanjakan anak-anaknya. Apabila sang induk menganggap anak-anaknya sudah siap untuk terbang, maka sang induk akan merusak sarangnya agar anak-anaknya “terpaksa” terbang dan mencari makan untuk dirinya sendiri. Ketika Rajawali merasa hidupnya akan berakhir, maka dia akan terbang setinggi-tingginya ke arah matahari, sampai mati dan jatuh kembali ke bumi. Seolah-olah diakhir hidupnya dia masih berusaha mencapai “prestasi” setinggi-tingginya. Subhanallah. Maha Suci Allah yang telah menunjukkan tanda-tanda kebesaran-Nya melalui seekor burung Rajawali, agar manusia dapat belajar dari makhluk ciptaan-Nya tersebut. Dalam kehidupan sehari-harinya, Prof. Riswandha konsisten menerapkan filosofi Rajawali ini. Di saat para pengamat politik ramai-ramai terjun ke dunia politik dan menikmati jabatan empuk di pemerintahan, Beliau tetap dalam kesendiriannya memilih menjadi akademisi untuk membagikan ilmunya di Kampus Bulaksumur UGM dan tinggal di lereng Gunung Merapi. Meski demikian, kesendiriannya bukan berarti beliau egois dan apatis, karena pendapatnya yang tajam dan kritis dalam menyoroti kondisi sosial-politik dan pemerintahan di Indonesia, yang kerap hadir baik melalui tulisan-tulisan maupun ceramah-ceramahnya, menunjukkan beliau tetap peduli terhadap keadaan sosial-politik yang berkembang di masyarakat. Meski Prof. Riswandha diketahui mengidap penyakit jantung dan diabetes, namun di akhir hidupnya, beliau tidak sedang terbaring menyerah pada penyakitnya tersebut. Meski keluarga telah mengingatkan beliau untuk banyak beristirahat karena penyakitnya tersebut, namun beliau tetap dengan penuh semangat menjalani kehidupannya sebagai akademisi. Pada hari Jum’at, 4 Agustus 2006, pada hari Beliau meninggal dunia, Profesor yang dikenal ramah dan murah senyum ini masih sempat menjadi penguji pada sidang tesis mahasiswa S2 UGM. Setelah itu, ketika beliau sedang di Bandara Adisucipto, Yogyakarta, untuk terbang ke Kupang, NTT, dalam rangka menghadiri suatu kegiatan akademik disana, beliau terkena serangan jantung yang membuatnya harus “terbang” kembali kepada Sang Pencipta. Innalillahi wa innaa illaihi rojii'un. Selamat jalan, Profesor. Meskipun Rajawali tua telah pergi, namun yakinlah akan ada Rajawali-Rajawali muda yang juga tidak pernah takut terbang sendiri, jauh tinggi, dengan langit sebagai batasnya. Jakarta, 7 Agustus 2006 Ari Juliano Gema “eagle flies alone, so high … and sky is the limit" |
3 Comments:
thanks for posting, could I quote that in my blog, hehehee..
Halo Rajawali Muda!
Silakan apabila anda berminat meng-quote artikel tersebut.
Rajawali tua ketemu rajawali muda, hmmm apakah akan rebutan kekuasaan? hehehe
salam
Post a Comment
<< Home