Sunday, May 20, 2007

NAIF, HKI dan Budaya HKI

oleh Ari Juliano Gema

Menurut hadits, silaturahmi dapat membuat panjang umur dan murah rezeki. Hal itulah yang mendorong saya untuk memenuhi undangan sahabat lama saya, Franki Indrasmoro Sumbodo, atau sekarang lebih populer dengan panggilan Pepeng NAIF, untuk hadir pada pertunjukan grup musik NAIF di sebuah café di bilangan Thamrin, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Kebetulan saya memang menyukai beberapa lagu NAIF. Selain musiknya enak didengar, liriknya juga kadang berisi kata-kata yang jenaka dan menghibur. Apalagi David, sang vokalis, seringkali membawakan lagu dengan ekspresi yang beragam dan penuh kejutan. Menurut saya, hal itulah yang menjadi kekuatan NAIF untuk bertahan di blantika musik Indonesia sampai saat ini.

Sadar HKI

Karena sudah lama tidak berjumpa, setelah selesai pertunjukan, kami melanjutkan pertemuan di sebuah coffee shop di bilangan Thamrin, Jakarta. Setelah berbicara panjang lebar tentang keluarga dan kegiatan masing-masing, saya mencoba memancing pembicaraan mengenai aspek-aspek hak kekayaan intelektual (HKI) yang seharusnya dipahami oleh NAIF.

Ternyata, sahabat saya itu cukup memahami persoalan HKI tersebut. Menurutnya, NAIF pernah mendapat pengalaman buruk pada awal karir mereka, yaitu dengan mengalihkan seluruh hak cipta atas lagu-lagu mereka pada perusahaan rekaman tempat mereka bernaung dulu. Oleh karena itu, sekarang NAIF merekam sendiri lagu-lagunya, dan kemudian membuat kerjasama dengan penerbit musik yang memiliki jaringan distribusi luas khusus untuk melakukan promosi dan distribusi album rekaman mereka. Dengan mekanisme tersebut, hak cipta atas lagu-lagu mereka tetap berada ditangan mereka.

Mereka juga telah memahami masalah pengaturan kepemilikan hak cipta di antara personil mereka. Apabila sebuah lirik lagu ditulis serta dibuat aransemennya, mereka tidak mencantumkan nama “NAIF” sebagai pencipta lagu tersebut, namun mereka mencantumkan satu persatu nama personil NAIF yang benar-benar terlibat dalam pembuatan lagu tersebut.

Hal ini merupakan langkah cerdas, karena bagaimanapun juga NAIF sebagai sebuah grup musik bukanlah badan hukum dan juga dapat berganti personil atau bubar sewaktu-waktu. Dengan mencantumkan satu persatu nama personil NAIF yang menciptakan lagu tersebut, akan memperjelas status kepemilikan atas hak cipta serta pembagian kompensasi/royalti yang mungkin diterima sampai berakhirnya masa berlaku hak cipta atas lagu tersebut, meski grup musik NAIF sudah tidak ada lagi. Menurut Undang-Undang Hak Cipta, apabila suatu lagu diciptakan oleh 2 (dua) orang atau lebih, hak cipta atas lagu itu berlaku selama hidup seorang pencipta lagu yang meninggal paling akhir, dan berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun sesudahnya.
Pelanggaran HKI dan Budaya Hukum

Dalam pembicaraan kami tersebut, sahabat saya sempat juga mengeluhkan masalah pembajakan kaset dan CD album-album mereka. Ia menilai pemerintah tidak serius dalam menangani pelanggaran HKI tersebut.

Saya coba menjelaskan bahwa pada dasarnya pemerintah sudah cukup berusaha untuk menanggulangi masalah pelanggaran HKI tersebut. Upaya yang sudah dilakukan itu diantaranya membentuk Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran HKI yang pada pokoknya bertugas merumuskan kebijakan nasional penanggulangan pelanggaran HKI, menetapkan langkah-langkah nasional dalam menanggulangi pelanggaran HKI, serta melakukan koordinasi sosialisasi dan pendidikan di bidang HKI guna penanggulangan pelanggaran HKI.

Pemerintah, melalui Direktorat Jenderal HKI, juga giat menyampaikan peringatan kepada pengelola pusat-pusat perbelanjaan atau mall yang menyewakan tempat usahanya untuk pedagang yang menjual CD/VCD/DVD bajakan. Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), bagi pengelola pusat perbelanjaan atau mall yang dengan sengaja memberikan sarana kepada pedagang tersebut dapat dikenakan sanksi pidana sebagai tindakan pembantuan. Dalam KUHP, tindakan pembantuan tersebut dapat dikenakan ancaman maksimum pidana pokok dikurangi sepertiganya.

Namun, memang harus diakui bahwa suatu sistem hukum hanya dapat berjalan baik apabila ditopang oleh tiga hal, yaitu perangkat hukum, aparat hukum, dan budaya hukum. Berkaitan dengan sistem HKI di Indonesia, peraturan perundang-undangan di bidang HKI pada dasarnya sudah cukup lengkap dan memenuhi standar internasional, begitu juga dengan upaya untuk membina dan melatih aparat penegak hukumnya yang sudah cukup intensif. Namun, sepertinya upaya untuk menumbuhkan budaya menghargai HKI belum terlalu diperhatikan.
Belum ada upaya serius dari pemerintah untuk menumbuhkan budaya menghargai HKI orang lain sejak usia dini. Seharusnya budaya tersebut dapat ditumbuhkan dengan memberikan pemahaman sejak dini kepada anak di usia sekolah dasar untuk menghargai hasil karya orang lain dengan cara memberikan contoh-contoh kecil yang nyata seperti mencontek, misalnya, adalah salah satu perbuatan yang tidak menghargai hasil karya orang lain. Dengan memberikan pemahaman sejak dini, melalui contoh-contoh kecil tersebut, diharapkan budaya menghargai HKI dapat tumbuh berkembang di masyarakat, sehingga sistem HKI di Indonesia dapat berjalan seperti yang diharapkan.

Labels: , ,

7 Comments:

At 20/5/07 23:54, Anonymous Anonymous said...

Pak Ari, banyak juga terjadi pertukaran file-file musik melalui media internet melalui file-sharing. Ini juga susah diberantas, dan orang menganggap sebagai hal yang biasa.

 
At 22/5/07 09:11, Anonymous Anonymous said...

Betul, Wikan. Ini sebenarnya salah satu contoh masalah budaya. Di Indonesia saja sebenarnya konsep HKI sebagaimana dikenal di Barat tidak dikenal dalam hukum Adat Indonesia.

Sehingga tidak aneh apabila masyarakat Indonesia misalnya menganggap biasa mem-fotokopi buku, memperjualbelikan rekaman kaset atau DVD bajakan, menggunakan software bajakan untuk kepentingan komersil maupun menyebarluaskan file-file musik melalui media Internet.

Apabila pemahaman mengenai HKI dapat diberikan sejak usia dini, maka budaya menghargai HKI niscaya akan tumbuh berkembang di masyarakat. Sehingga perasaan takut seseorang ketika hendak mencuri mangga milik tetangga akan dialami juga ketika ia hendak mem-fotokopi buku milik orang lain.

 
At 23/5/07 15:52, Anonymous Anonymous said...

budaya?
hukum pun budaya, Bung..
sekiranya Bung Ari berdiam diri dan merenungi apa itu HKI, maka sebaiknya justru setiap hasil karya manusia adalah memiliki fungsi sosial..
bukankah sebaik2nya manusia adalah yg bermanfaat bagi org lain?
HKI muncul dari pikiran sebagian orang yang bagi sebagian orang menyebutnya kapitalis..

 
At 28/5/07 17:29, Anonymous Anonymous said...

Mas Kopidangdut,

Pembahasan saya mengenai budaya adalah dalam konteks penerapan sistem hukum di Indonesia, yang harus ditopang oleh perangkat hukum yang baik, aparat penegak hukum yang baik dan budaya hukum yang mendukung. Budaya hukum inilah yang jarang diperhatikan oleh pemerintah untuk dikembangkan di dalam masyarakat Indonesia.

Dalam peraturan perundangan-undangan di Indonesia sendiri, penerapan HKI memang dibatasi oleh fungsi sosialnya, yaitu antara lain untuk penggunaan dalam bidang pendidikan, kesehatan umum, ketertiban umum serta pertahanan dan keamanan negara.

Jadi pelaksanaan HKI memang tidak mutlak untuk keuntungan pemiliknya saja, namun juga harus memiliki manfaat bagi kepentingan umum.

 
At 27/8/07 11:39, Anonymous Anonymous said...

halo pak juliano , lam kenal ya. nulis buku juga ya , kmaren aku liat bukunya pak ari yang membangung profesi konsultan hki di gramed.

 
At 7/9/07 18:14, Anonymous Anonymous said...

Dear Dhana,

Memang betul saya menulis buku berjudul "Membangun Profesi Konsultan HKI". Resensi buku itu bisa dilihat di http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=15457&cl=Resensi

 
At 1/10/07 04:41, Anonymous Anonymous said...

Artikel yang bagus. Memang benar Indonesia harus berani melawan perampok2 hak cipta, suatu hal yang sulit di saat ekonomi bangsa yang kedodoran. Tapi tampaknya memang itulah yang harus dilakukan, karena pembajakan itu sama saja dengan pencurian. Setuju.

 

Post a Comment

<< Home