Saturday, June 06, 2009

Ini Bukan Soal Ibu Prita atau RS Omni!



Pada saat mengikuti persidangan pertama perkara pidana Ibu Prita kemarin, saya merasakan dukungan masyarakat dan media massa kepada Ibu Prita demikian besar. Tuntutan untuk membebaskan Ibu Prita dan menyalahkan RS Omni Alam Sutra Tangerang begitu kentara.


Namun, bagi saya, ini bukan sekedar persoalan menuntut pembebasan Ibu Prita dan menyalahkan RS Omni. Ini adalah soal hak konsumen untuk menyampaikan keluhannya yang coba dibungkam dengan pasal karet dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yaitu Pasal 27 ayat (3) mengenai distribusi informasi elektronik/dokumen elektronik yang memuat materi pencemaran nama baik atau penghinaan.


UU ITE vs. KUHP


Sebelum UU ITE diundangkan, sudah ada ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur mengenai penghinaan, pencemaran nama baik, kesusilaan, perjudian, pengancaman, dan pemerasan. Semua hal itu kemudian diatur kembali dalam UU ITE dimana perbuatan tersebut dilakukan dengan menggunakan media berupa informasi elektronik atau dokumen elektronik.


Masalahnya adalah, pertama, sebagaimana KUHP, UU ITE tidak juga memberikan definisi yang jelas mengenai kata-kata "kesusilaan", "penghinaan" dan "pencemaran nama baik", sehingga begitu mudahnya disalahgunakan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan. Pada masa Orde Baru, ketidakjelasan itu dimanfaatkan oleh penguasa untuk melibas lawan-lawan politiknya.


Kedua, sanksi yang diatur dalam UU ITE lebih berat daripada sanksi dalam KUHP. Apabila pencemaran nama baik dalam KUHP hanya dikenakan sanksi maksimal 16 bulan penjara, maka dalam UU ITE mengancam pelakunya dengan sanksi maksimal 6 tahun penjara. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa tindak pidana yang diancam 5 tahun penjara pelakunya dapat ditahan pada saat proses penyidikan atau penuntutan. Oleh karena itu, Ibu Prita yang dituntut dugaan pencemaran nama baik berdasarkan UU ITE dapat ditahan di LP Tangerang pada saat proses penuntutan oleh jaksa.


Ketiga, delik pencemaran nama baik dalam UU ITE adalah delik biasa. Sedangkan dalam KUHP adalah delik aduan. Artinya, apabila seseorang dituntut dengan pencemaran nama baik berdasarkan UU ITE, dan meskipun pihak pengadu telah memaafkannya serta mencabut pengaduannya, maka penuntutan dan proses persidangan tetap akan jalan terus. Berbeda dengan delik aduan, dimana apabila pengadu mencabut pengaduannya, maka penuntutan dapat dihentikan.


Hak Konsumen


Menurut UU Perlindungan Konsumen, setiap konsumen punya hak untuk didengar pendapat dan keluhannya. Tidak diatur mengenai saluran atau media dalam penyampaian keluhan itu dan tidak ada kewajiban menyampaikan langsung kepada pelaku usaha. Dengan demikian, seharusnya konsumen boleh menyampaikan keluhannya dalam media apapun, termasuk melalui surat pembaca atau e-mail.


UU juga memberikan hak kepada pelaku usaha untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya. Mengapa kata "sepatutnya" yang digunakan, dan bukan "semaksimal mungkin"? Karena memang seharusnya pembelaan diri tidak diperlakukan sebagai ajang balas dendam, namun hanya sebagai upaya mengklarifikasi hal-hal tidak benar yang disampaikan oleh konsumen.


Namun, ketika pelaku usaha menganggap keluhan tersebut sebagai pencemaran nama baiknya, dan kemudian melaporkan hal itu kepada aparat penegak hukum, itu adalah hak pelaku usaha. Ketika Jaksa melakukan penuntutan berdasarkan ketentuan hukum yang tersedia, menurut saya itu juga sudah menjadi tugas Jaksa. Tidak ada yang salah dengan hal itu.


Merupakan tugas hakim juga untuk memutuskan apakah yang dilakukan Ibu Prita itu termasuk pencemaran nama baik atau bukan. Masalahnya, ada UU ITE yang "menyediakan" ketentuan hukum yang begitu represif, yang digunakan oleh jaksa untuk menuntut Ibu Prita. Akibatnya, rasa kemanusiaan dicederai. Publik pun gempar.


Padahal, seandainya saja pasal karet dalam UU ITE itu tidak digunakan, masih ada pasal-pasal dalam KUHP yang dapat digunakan untuk perbuatan yang sama. Tinggal ketentuan mengenai keabsahan informasi elektronik atau dokumen elektronik yang diatur dalam UU ITE saja yang dipergunakan. Apabila hal itu dilakukan, maka niscaya Ibu Prita tidak dapat ditahan dalam proses penuntutan dan tidak harus berpisah dengan dua orang buah hatinya yang masih balita.


Oleh karena itu, agar tidak ada lagi masyarakat yang mengalami nasib serupa, pencabutan pasal-pasal karet dalam UU ITE adalah harga mati!


(foto: Detikcom)

2 Comments:

At 14/6/09 20:31, Blogger Blog Watcher said...

MATINYA KEBEBASAN BERPENDAPAT

Biarkanlah ada tawa, kegirangan, berbagi duka, tangis, kecemasan dan kesenangan... sebab dari titik-titik kecil embun pagi, hati manusia menghirup udara dan menemukan jati dirinya...

itulah kata-kata indah buat RS OMNI Internasional Alam Sutera sebelum menjerat Prita dengan pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik.

.......................................................................................................

Bila kita berkaca lagi kebelakang, sebenarnya pasal 310 KUHP adalah pasal warisan kolonial Belanda. Dengan membungkam seluruh seguruh teriakan, sang rezim penguasa menghajar kalangan yang menyatakan pendapat. Dengan kejam penguasa kolonial merampok kebebasan. tuduhan sengaja menyerang kehormatan, nama baik, kredibilitas menjadi ancaman, sehingga menimbulkan ketakutan kebebasan berpendapat.

Menjaga nama baik ,reputasi, integritas merupakan suatu keharusan, tapi alangkah lebih bijaksana bila pihak-pihak yang merasa terganggu lebih memperhatikan hak-hak orang lain dalam menyatakan pendapat.

Dalam kasus Prita Mulyasari, Rumah sakit Omni Internasional berperan sebagai pelayan kepentingan umum. Ketika pasien datang mengeluhjan pelayanan buruk pihak rumah sakit, tidak selayaknya segala kritikan yang ada dibungkam dan dibawah keranah hukum.


Kasus Prita Mulyasari adalah presiden buruk dalam pembunuhan kebebasan menyatakan pendapat.

 
At 27/6/09 18:11, Blogger Rob Baiton said...

AJG...

Agreed.

This is not about Prita or Omni. However, is it a consumer rights issue and the right to complain in a public forum?

The case is interesting for me based on the arguments for and against criminal defamation. It is also now wore interesting since the Tangerang District Court tossed the case.

Are you going to write anything else on this?

 

Post a Comment

<< Home