Workshop HKI, Open Approaches dan Resolusi 2011
oleh Ari Juliano Gema
Pada tanggal 13 – 14 Desember 2010 kemarin saya diundang sebagai pembicara pada workshop internasional bertema “Recent Development in Intellectual Property Law in Southeast Asia” yang diselenggarakan di University of Wollongong, Australia. Pembicaranya sebagian besar merupakan akademisi dan praktisi hukum dari berbagai negara di Asia Tenggara. Saya sendiri diberi kesempatan untuk berbicara tentang digital copyright, sekaligus berbagi informasi tentang perkembangan Creative Commons di Indonesia.
Banyak hal menarik yang baru saya ketahui dari workshop tersebut berkenaan dengan perkembangan hak kekayaan intelektual (HKI) di beberapa negara tetangga. Pembicara dari Malaysia mengabarkan bahwa UU merek mereka, The Trademark Act 1976, akan segera diamandemen untuk mengatur bahwa suara (sound) dan bebauan (smell) dapat didaftarkan sebagai merek. Thailand sudah memiliki UU perlindungan traditional medicine knowledge, dimana diatur bahwa jika suatu traditional medicine knowledge telah resmi terdaftar maka orang lain dilarang melakukan riset mengenai hal tersebut tanpa seijin pendaftarnya.
Filipina punya banyak peraturan terkait HKI, diantaranya Anti Camcording Act dan Technology Transfer Act. Yang menarik, jika seseorang melakukan pelanggaran HKI di Filipina maka akan dipersulit untuk mendapatkan visa ke Amerika Serikat. Yang mengejutkan, Myanmar ternyata masih menggunakan UU hak cipta yang disahkan pada tahun 1914.
Mengenai pelanggaran HKI di kawasan Asia Tenggara, Prof. Michael Blankey dari University of Western Australia menyampaikan bahwa menurut Special 301 Report Tahun 2010 yang diterbitkan US Trade Representative (USTR), Indonesia dan Thailand masuk dalam Priority Watch List karena tingkat pelanggaran HKI yang masih tinggi. Dalam laporan European Union Tahun 2009 Indonesia juga masuk di peringkat kedua dalam daftar negara-negara dengan tingkat pelanggaran HKI tinggi.
Anehnya, menurut Prof. Michael Blankey, Singapura tidak masuk dalam Special 301 Report yang diterbitkan USTR tersebut. Padahal International Intellectual Property Alliance (IIPA), sebuah organisasi non-pemerintah internasional yang memiliki perhatian terhadap penerapan HKI, menemukan bahwa pelanggaran HKI di Singapura berupa pembajakan CD/VCD/DVD dan materi hak cipta lainnya juga cukup tinggi. Hal ini mengakibatkan industri musik di Singapura terjun bebas. Banyak perusahaan penerbit musik internasional yang menutup kantor perwakilannya di Singapura.
Open Approaches
Saya suka dengan presentasi Prof. Reto M. Hilty dari Max Planck Institute for Intellectual Property, Competition and Tax Law yang berjudul “Intellectual Property and Open Approaches”. Beliau menyampaikan bahwa saat ini dunia mulai menyadari bahwa penerapan HKI seharusnya tidak mematikan inovasi, namun harus didorong untuk menumbuhkan inovasi yang dapat membawa kesejahteraan bagi masyarakat luas. Untuk itulah, tidak bisa lagi penerapan HKI dilakukan dengan pendekatan tertutup yang menutup sama sekali kemungkinan pengembangan suatu karya intelektual oleh pihak lain.
Dunia mulai melirik konsep pendekatan terbuka seperti yang dilakukan Creative Commons (CC). Organisasi non-profit yang didirikan di Amerika Serikat pada tahun 2001 ini menawarkan model lisensi yang memungkinkan seseorang untuk berbagi karya ciptanya melalui internet dan tetap dapat mempertahankan beberapa haknya berdasarkan ketentuan perundang-undangan terkait dengan hak cipta di negaranya masing-masing. Lisensi CC mencoba menawarkan penerapan hak cipta yang masuk akal dan luwes dalam menghadapi aturan baku yang semakin membatasi inovasi.
Pendekatan terbuka yang ditawarkan CC ini menarik perhatian pengelola Wikipedia, sebuah situs ensiklopedia gratis yang dikembangkan bersama-sama oleh sukarelawan dari berbagai negara. Awalnya, pengelola Wikipedia tidak percaya dengan konsep hak cipta. Namun, setelah mempelajari model lisensi yang dikembangkan CC, akhirnya pengelola Wikipedia setuju menggunakan lisensi CC untuk seluruh artikel yang dimuat pada situs tersebut.
Resolusi 2011
Melihat begitu pesatnya perkembangan HKI, saya punya keprihatinan yang besar dengan kesadaran usaha kecil dan menengah (UKM) atas pentingnya HKI bagi perkembangan usaha mereka. Beberapa tahun belakangan ini saya banyak bertemu anak-anak muda dengan semangat dan kreatifitas tinggi menjalankan usahanya sendiri. Meski mungkin sebagian besar dari mereka masih dalam kategori UKM namun kualitas produknya tidak kalah dengan produk bermerek terkenal.
Sayangnya, tidak banyak dari mereka yang menyadari bahwa mereka sebenarnya memiliki aset yang berpotensi mendatangkan keuntungan yang besar jika dapat dikelola dengan baik. Aset tersebut adalah HKI. Perusahaan-perusahaan besar di luar negeri telah banyak menangguk keuntungan karena mampu mengelola HKI yang dimilikinya dengan baik.
Ambil contoh, banyak perusahaan sepatu bermerek terkenal yang sebenarnya tidak memproduksi sendiri sepatu di negara asal perusahaan mereka. Mereka hanya memberi lisensi kepada perusahaan-perusahaan lokal di negara yang menjadi target pasar mereka untuk memproduksi dan menggunakan merek terkenal mereka. Begitu pula dengan banyaknya waralaba dari kedai-kedai kopi merek terkenal yang menjamur diberbagai belahan dunia. Hanya dengan mengenakan biaya lisensi atas mereknya tersebut, perusahaan-perusahaan pemilik merek menangguk untung besar.
Merek hanyalah salah satu aspek dari HKI. Keuntungan besar yang didapat perusahaan-perusahan itu tidak akan terjadi jika mereka tidak memiliki merek terdaftar. Dengan merek yang telah terdaftar, perusahaan mendapat perlindungan dari negara atas pemalsuan merek atau penggunaan mereknya tanpa ijin.
Banyak pelaku UKM yang tidak menyadari hal ini. Tanpa merek terdaftar, produk mereka hanya akan menjadi komoditas belaka. Ketika produk hanya menjadi komoditas, maka konsumen hanya akan melihat harga yang ditawarkan. Sulit untuk membangun loyalitas konsumen terhadap produk yang ”tidak bernama”. Padahal beberapa survei mengatakan bahwa jumlah UKM di Indonesia telah mencapai lebih dari 99% total jumlah usaha di negeri ini. Jika ketidakpahaman atas HKI ini terus berlanjut, maka tentu berdampak pada daya saing perusahaan lokal dalam perdagangan global.
Untuk itulah, saya punya resolusi untuk tahun 2011 nanti terkait dengan keprihatinan tersebut. Saya akan berusaha menyediakan waktu untuk bisa berbagi informasi tentang HKI dengan 1000 UKM sepanjang tahun 2011 nanti. Hal ini berangkat dari keyakinan saya bahwa jika 1000 UKM tersebut telah paham dan mampu mengelola HKI-nya dengan baik maka setidaknya dapat diharapkan akan muncul 10 UKM yang punya merek dengan reputasi yang dapat dibanggakan di dunia internasional.
Semoga resolusi itu dapat sedikit memberikan sumbangan untuk Indonesia yang lebih baik. Amiin
Labels: Australia, creative commons, hak cipta, HKI, merek, resolusi, UKM
0 Comments:
Post a Comment
<< Home