Sunday, May 30, 2010

Mengapa Tidak Ada Pengibaran Bendera Setengah Tiang Untuk Ibu Ainun Habibie?

oleh Ari Juliano Gema


Ibu Ainun Habibie, istri mantan presiden BJ Habibie, tutup usia pada tanggal 22 Mei 2010 lalu. Pemakaman almarhumah di TMP Kalibata, Jakarta, menyita perhatian publik. Cerita-cerita yang mengharukan seputar aktivitas almarhumah semasa hidupnya pun mulai bermunculan. Bank Donor Mata adalah salah satu peninggalannya yang mulai banyak dibicarakan orang.


Namun, ada pertanyaan yang tersisa di benak beberapa orang. Mengapa tidak ada pengumuman dari pemerintah untuk mengibarkan bendera setengah tiang sebagai tanda berkabung nasional? Bukankah saat Ibu Tien Soeharto wafat ada pengumuman untuk mengibarkan bendera setengah tiang?


Menurut saya setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan, pertama, UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (UU No. 24/2009) mengatur bahwa pengibaran bendera merah putih setengah tiang sebagai tanda berkabung dilakukan apabila Presiden atau Wakil Presiden, mantan Presiden atau mantan Wakil Presiden, pimpinan atau anggota lembaga negara, menteri atau pejabat setingkat menteri, kepala daerah, dan/atau pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah meninggal dunia. Dengan demikian, meski Ibu Ainun Habibie adalah istri mantan Presiden, namun beliau tidak termasuk kategori orang-orang yang ditentukan dalam UU No. 24/2009 tersebut.


Kedua, UU No. 24/2009 memang belum ada saat Ibu Tien Soeharto wafat pada tahun 1996. Saat itu peraturan yang mengatur penggunaan bendera kebangsaan adalah PP No. 40 Tahun 1958 tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia (PP No. 40/1958). Dalam PP No. 40/1958 sendiri diatur bahwa pengibaran bendera setengah tiang tanda berkabung dilakukan apabila Kepala Negara atau Wakil Kepala Negara, pejabat penting dari kementerian, atau badan-badan perwakilan rakyat meninggal dunia.


Dengan demikian, sebenarnya pada saat Ibu Tien Soeharto wafat juga tidak ada aturan pengibaran bendera setengah tiang untuk istri presiden atau istri mantan presiden. Kalaupun pada saat itu ada pengumuman pengibaran bendera setengah tiang, hal itu dilakukan atas dasar diskresi dari pejabat setempat saja, misalnya walikota, bupati atau gubernur.


Labels: , ,

4 Comments:

At 5/6/10 16:07, Blogger ihsanul arifin said...

bagaimana dengan kasus ini bang: http://regional.kompas.com/read/2010/06/05/11290318/Dandim.Aceh.Barat.Murka

 
At 17/6/10 09:10, Anonymous anny said...

Padahal Almarhumah Ibu Ainun patut mendapat penghargaan kibaran bendera setengah tiang saat meninggalnya. Kenapa kita masyarakat gak ngeh ya, apa karena udah terlalu sibuk mikirin cari sesuap nasi?

 
At 18/6/10 00:17, Anonymous vany said...

mas, diskresi itu apa sih?
kalo ada pengibaran bendera seperti ibu tien lagi, berarti itu tdk dibenarkan mnrt UU ya?

 
At 12/11/10 01:34, Anonymous Rhiyan said...

Bang Ajo, berdasarkan opini hukum abang, seharusnya hal yg sama dpt saja dilakukan kepada Almarhumah Ibu Ainun Habibie, dgn dasar diskresi pejabat setempat bukan, meskipun aturan perundang-undangan kita tdk mengaturnya? Sama halnya seperti pd masa wafatnya Ibu Tien. Dan masalah diskresi ini pun sebenarnya bukanlah hal yg tercela atau melanggar aturan yg ada, bahkan sebenarnya diakui dlm sistem hukum kita, sepanjang bersifat baik & tdk melanggar ketentuan normatif yg berlaku.

Patut dicermati pula bang Ajo, pd masa Soeharto memerintah, budaya & pengaruh kepemimpinan beliau pun sangat kuat mengakar di tingkat pejabat & masyarakat. Jadi, pd masa itu tdk ada 1pun pejabat yg berani membantah beliau kalau tdk ingin mendapat "sanksi" atau "teguran" dari Bapak. Maka, mau tdk mau, suka tdk suka, pengibaran bendera setengah tiang hrs dilakukan untuk menghormati Ibu Tien sebagai istri Pak Harto (Presiden saat itu).

Lain halnya ketika masa Ibu Ainun Habibie meninggal dimasa pemerintahan SBY. Budaya sebagaimana masa Pak Harto tdk kuat mengakar, baik ditingkat pejabat mau pun masyarakat. Jd, tdk heran, tdk ada pengibaran bendera setengah tiang saat Ibu Ainun wafat, meskipun jasa-jasa beliau byk untuk bangsa ini.

Pd kesimpulannya, bukan faktor legal normatif saja yg dilihat, namun faktor psikologis masyarakat yg berlaku saat itu juga perlu dipertimbangkan.

Demikian tanggapan sy. Terimakasih.

Salam hangat,
Rhiyan

 

Post a Comment

<< Home