Fatwa MUI, Hak Pilih dan Informasi Caleg
oleh Ari Juliano Gema
Pada tanggal 25 Januari 2009 lalu, Sidang Pleno Ijtima Ulama se-Indonesia III menetapkan sebuah fatwa mengenai penggunaan hak pilih dalam pemilu. Pada pokoknya, fatwa tersebut menetapkan bahwa memilih calon wakil rakyat yang memenuhi syarat ideal adalah wajib hukumnya. Menurut H. Sholahuddin al-Aiyub, ulama yang menyampaikan hasil sidang komisi yang membahas fatwa itu, syarat ideal yang harus dipenuhi seorang wakil rakyat adalah beriman, bertaqwa, jujur terpercaya, aktif dan aspiratif, mempunyai kemampuan dan memperjuangkan kepentingan umat Islam (Inilah.com, 26/01/09).
Fatwa tersebut juga menentukan bahwa haram hukumnya apabila memilih calon wakil rakyat yang tidak memenuhi syarat ideal tersebut. Haram juga hukumnya apabila pemilih tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu padahal ada calon wakil rakyat yang memenuhi syarat ideal tersebut.
Peran MUI
Saat tulisan ini dibuat, saya belum membaca isi keseluruhan fatwa tersebut karena belum mendapatkan salinan lengkapnya. Namun, saya dapat memahami mengapa fatwa itu diterbitkan dalam Sidang Pleno Ijtima Ulama se-Indonesia III yang digagas Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu. Ada indikasi meningkatnya jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu nanti alias ”golput”.
Dalam ”PIAGAM BERDIRINYA MUI” yang ditandatangani pada tanggal 26 Juli 1975 oleh 26 orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI, serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan, telah dirumuskan juga fungsi dan peran utama MUI. Salah satu peran utama MUI adalah menerbitkan fatwa dalam rangka memberikan bimbingan dan tuntunan umat Islam dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah SWT.
Oleh karena itu, tidak salah apabila MUI merasa perlu memberikan bimbingan kepada umat dalam menggunakan hak pilihnya pada pemilu nanti melalui fatwa tersebut. Namun, perlu diingat bahwa fatwa MUI bukanlah salah satu jenis peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum Indonesia yang dapat memberikan sanksi langsung kepada pelanggarnya. Oleh karena itu, dipatuhi atau tidaknya fatwa tersebut tergantung pada keyakinan dari masing-masing pribadi.
Meski tidak ada fatwa tersebut, saya pribadi akan tetap menggunakan hak pilih saya dalam pemilu nanti. Alasannya sederhana. Pertama, meski tidak ada peraturan perundang-undangan yang mewajibkan seseorang untuk menggunakan hak pilihnya, namun hak pilih yang kita miliki sebagai warga negara wajib kita syukuri. Bandingkan dengan kesulitan warga negara di beberapa negara benua Afrika dalam menggunakan hak pilihnya. Karena alasan ekonomi dan politik, sulit sekali menyelenggarakan pemilu di sana. Kalaupun pemilu berhasil diselenggarakan, dalam waktu yang tidak terlalu lama biasanya akan ada pemberontakan atau huru hara yang dilancarkan pihak yang kalah dalam pemilu.
Kedua, pemilu adalah saat yang tepat untuk ”menghukum” atau memberikan ”penghargaan” kepada partai politik yang berkuasa. Perhatikan saja hasil perolehan kursi DPR partai politik peserta pemilu pada Pemilu 1999 dan 2004. Bagi partai politik yang kinerjanya dianggap mengecewakan, terjadi penurunan jumlah perolehan kursi DPR. Sedangkan partai politik yang kinerjanya dianggap baik, terjadi kenaikan jumlah perolehan kursi DPR. Ini menunjukkan sistem ”reward and punishment” dapat diterapkan apabila hak pilih dipergunakan secara rasional.
Informasi Caleg
Sayangnya, UU Pemilu tidak mewajibkan caleg atau partai politiknya mengumumkan informasi lengkap mengenai caleg yang bersangkutan, yang setidak-tidaknya meliputi latar belakang pendidikan, pekerjaan dan pengalaman organisasi serta aktifitas sosial yang relevan lainnya. Hal ini tentu akan menyulitkan para pemilih yang mematuhi fatwa MUI itu untuk mengetahui apakah seorang caleg telah memenuhi syarat ideal yang ditentukan fatwa MUI tersebut.
Pada tanggal 25 Januari 2009 lalu, Sidang Pleno Ijtima Ulama se-Indonesia III menetapkan sebuah fatwa mengenai penggunaan hak pilih dalam pemilu. Pada pokoknya, fatwa tersebut menetapkan bahwa memilih calon wakil rakyat yang memenuhi syarat ideal adalah wajib hukumnya. Menurut H. Sholahuddin al-Aiyub, ulama yang menyampaikan hasil sidang komisi yang membahas fatwa itu, syarat ideal yang harus dipenuhi seorang wakil rakyat adalah beriman, bertaqwa, jujur terpercaya, aktif dan aspiratif, mempunyai kemampuan dan memperjuangkan kepentingan umat Islam (Inilah.com, 26/01/09).
Fatwa tersebut juga menentukan bahwa haram hukumnya apabila memilih calon wakil rakyat yang tidak memenuhi syarat ideal tersebut. Haram juga hukumnya apabila pemilih tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu padahal ada calon wakil rakyat yang memenuhi syarat ideal tersebut.
Peran MUI
Saat tulisan ini dibuat, saya belum membaca isi keseluruhan fatwa tersebut karena belum mendapatkan salinan lengkapnya. Namun, saya dapat memahami mengapa fatwa itu diterbitkan dalam Sidang Pleno Ijtima Ulama se-Indonesia III yang digagas Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu. Ada indikasi meningkatnya jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu nanti alias ”golput”.
Dalam ”PIAGAM BERDIRINYA MUI” yang ditandatangani pada tanggal 26 Juli 1975 oleh 26 orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI, serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan, telah dirumuskan juga fungsi dan peran utama MUI. Salah satu peran utama MUI adalah menerbitkan fatwa dalam rangka memberikan bimbingan dan tuntunan umat Islam dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah SWT.
Oleh karena itu, tidak salah apabila MUI merasa perlu memberikan bimbingan kepada umat dalam menggunakan hak pilihnya pada pemilu nanti melalui fatwa tersebut. Namun, perlu diingat bahwa fatwa MUI bukanlah salah satu jenis peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum Indonesia yang dapat memberikan sanksi langsung kepada pelanggarnya. Oleh karena itu, dipatuhi atau tidaknya fatwa tersebut tergantung pada keyakinan dari masing-masing pribadi.
Meski tidak ada fatwa tersebut, saya pribadi akan tetap menggunakan hak pilih saya dalam pemilu nanti. Alasannya sederhana. Pertama, meski tidak ada peraturan perundang-undangan yang mewajibkan seseorang untuk menggunakan hak pilihnya, namun hak pilih yang kita miliki sebagai warga negara wajib kita syukuri. Bandingkan dengan kesulitan warga negara di beberapa negara benua Afrika dalam menggunakan hak pilihnya. Karena alasan ekonomi dan politik, sulit sekali menyelenggarakan pemilu di sana. Kalaupun pemilu berhasil diselenggarakan, dalam waktu yang tidak terlalu lama biasanya akan ada pemberontakan atau huru hara yang dilancarkan pihak yang kalah dalam pemilu.
Kedua, pemilu adalah saat yang tepat untuk ”menghukum” atau memberikan ”penghargaan” kepada partai politik yang berkuasa. Perhatikan saja hasil perolehan kursi DPR partai politik peserta pemilu pada Pemilu 1999 dan 2004. Bagi partai politik yang kinerjanya dianggap mengecewakan, terjadi penurunan jumlah perolehan kursi DPR. Sedangkan partai politik yang kinerjanya dianggap baik, terjadi kenaikan jumlah perolehan kursi DPR. Ini menunjukkan sistem ”reward and punishment” dapat diterapkan apabila hak pilih dipergunakan secara rasional.
Informasi Caleg
Sayangnya, UU Pemilu tidak mewajibkan caleg atau partai politiknya mengumumkan informasi lengkap mengenai caleg yang bersangkutan, yang setidak-tidaknya meliputi latar belakang pendidikan, pekerjaan dan pengalaman organisasi serta aktifitas sosial yang relevan lainnya. Hal ini tentu akan menyulitkan para pemilih yang mematuhi fatwa MUI itu untuk mengetahui apakah seorang caleg telah memenuhi syarat ideal yang ditentukan fatwa MUI tersebut.
Oleh karena itu, Komisi Pemilihan Umum seharusnya berani membuat peraturan yang mewajibkan partai politik mengumumkan secara terbuka informasi lengkap mengenai calegnya tersebut. Hal ini penting bagi pemilih, baik terkait dengan adanya fatwa MUI itu atau tidak, agar memperoleh informasi yang memadai sebelum menggunakan hak pilihnya.
Labels: caleg, fatwa, KPU, MUI, pemilu, politik, wakil rakyat